Berikut ini kami sampaikan paparannya :
Mencermati perjalanan dan perkembangan hukum Indonesia
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila
sepanjang tahun 2016, Lembaga Peyananan dan Bantuan Hukum (LPBH) Yayasan
Komunikasi Indonesia. Kesempatan ini kami menyampaikan Refleksi Akhir
Tahun Bidang Hukum dengan judul "Negara Hukum Pancasila antara Harapan
dan Kenyataan"
Negara Hukum Pancasila
Salah satu ciri dari negara hukum ditandai dengan adanya
konstitusi (baik tertulis maupun tidak tertulis) sebagai aturan dasar
negara dan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai peraturan
pelaksanaan sebagai suatu kesatuan sistem hierarkhi norma hukum. Di sisi
yang lain, konsep negara hukum tidak dapat dipisahkan dari konsep
demokrasi, oleh karena itu sebutan untuk negara hukum dewasa ini tidak
terpisahkan dengan negara demokrasi.
Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah
negara hukum". Timbul pertanyaan bagaimana desain makro penjabaran ide
negara hukum tersebut? Harus diakui, bahwa selama ini amanat konstitusi
tersebut belum pernah dirumuskan secara komprehensif, yang ada hanyalah
pembangunan hukum yang bersifat sektoral dan sangat bergantung dengan
political will pemerintah yang berkuasa.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hierarki, dan
aspek-aspek yang bersifat sistemik yang saling berkaitan satu sama lain
itulah, khusus di Indonesia, sistem hukum yang harus dikembangkan adalah
dalam perspektif Negara Hukum Pancasila. Sudah seharusnya negara
menyusun dan merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan konsep negara
hukum berideologi Pancasila, sebagaimana diamanatkan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pancasila merupakan konsep prismatik, yakni konsep yang
mengambil segi-segi baik dari dua konsep yang bertentangan, yang
kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat diaktualkan
dengan kenyataan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan konsep prismatik
ini, setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Konsep negara hukum
Indonesia mencari jalan tengah antara konsep Rechtsstaat dan Rule of
Law, yang identik dengan konsep prismatik, yaitu Negara Hukum Pancasila.
Dengan kata lain, Negara Hukum Pancasila ini mengakomodir kepastian
hukum yang berasal dari Rechtstaat dan keadilan substansial yang berasal
dari Rule of Law, di mana keduanya sebagai conditio sine quanon.
Keadilan substansial muncul dari sebuah kepastian hukum dan kepastian
hukum bersumber dari keadilan yang dinormakan. Hal ini berarti,
kepastian hukum dan keadilan substansial akan terus bergulir dan
berjalan secara konsisten bersamaan untuk mencapai konsepsi negara
hukum Pancasila yang dicitakan.
Dalam tata susunan norma hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia, Pancasila mnempati Ktegori sebagai norma dasar negara (staatsfundamentalnorm). Sebagai norma dasar negara Pancasila mengandung cita negara (staatsidee) yang tertuang dalam UUD Tahun 1945.
Dalam membangun hukum di negeri ini, Pancasila harus
diposisikan sebagai bingkai dari sistem hukum, yakni sebuah sistem hukum
yang khas Indonesia, yang berbeda dari sistem hukum negara lain. Arah
dan watak dari sistem hukum yang hendak dibangun dan dikembangkan di
Indonesia harus benar-benar menjadi hukum Indonesia. Pemerintah
Indonesia seharusnya terus mengembangkan Pancasila sebagai ideologi
terbuka yang selama ini dapat mempersatukan seluruh elemen dalam
masyarakat sekaligus mewujudkan negara hukum Indonesia yang berkeadilan
sosial, sebagaimana dalam sila kelima.
Sebagai suatu sistem filsafat, masing-masing sila saling
terkait sebagai suatu kesatuan, yang menyeluruh, oleh karena itu dalam
memahami negara hukum Pancasila yang berkeadilan sosial harus menjiwai
seluruh sila dari Pancasila. Atas dasar ini, maka dalam perumusan hukum
(peraturan perundang-undangan) pun harus dilandasi oleh nilai-nilai
religius, dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan
sebagai sesama warga bangsa yang selalu mengedepankan rasa
nasionalisme, sehingga dalam setiap pengambilan keputusan selalu diawali
dengan musyawarah untuk mencapi mufakat, dan pada akhirnya semua yang
dilakukan itu memenuhi rasa keadilan bagi semua golongan di republik
ini.
Refleksi Penegakan Hukum Tahun 2016
Sepanjang tahun 2016, banyak kasus hukum yang menarik
perhatian publik. Penegakan hukum di Indonesia mengalami berbagai
dinamika yang sangat memprihatinkan. Pada kasus tertentu, politik
cenderung determinan atas hukum. Dalam konsep negara hukum, hukum
semestinya menjadi panglima (supreme), namun dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah (Pilkada), politik sangat dominan. Dasyatnya isu
agama dibawah ke ranah pilkada DKI, yang dikemas secara terstruktur,
sistematis, dan masif dengan menggunakan kekuatan modal bahkan media,
sehingga berhasil merasuk kalbu rakyat Indonesia. Isu agama ini,
berhasil merenggang ikatan toleransi yang selama ini terjalin dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam menjaga keamanan, pihak kepolisian nampaknya
gamang. Hal ini terlihat pada saat demonstrasi tanggal 4 bulan November
Tahun 2016 yang lalu (dikenal dengan demonstrasi 411). Demonstrasi pada
hakikatnya adalah ciri negara hukum yang demokrasi, namun demonstrasi
yang melanggar ketentuan peraturan perundangan-undangan jelas melanggar
hakikat negara hukum itu sendiri.
Dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah
seorang pasangan calon dalam Pilkada DKI Jakarta yang sedang berjalan,
harus ditopang oleh peradilan yang fair dan adil menjadi sambaan semua
pencari keadilan. Tekanan massa tidak boleh mempengaruhi hakim dalam
mengadili kasus tersebut. Kasus ini akan menjadi batu ujian apakah
majelis hakim akan mampu melahirkan putusan yang fair dan adil. Apakah
Indonesia sebagai negara hukum Pancasila benar berdaulat ataukah tidak
di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Dalam hal pembentukan hukum oleh lembaga legislatif,
belum berhasil membuat materi muatan peraturan perundang-undangan, yang
memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Produk hukum lebih mengejar
kepastian hukum, daripada unsur keadilan yang substansial. Akibatnya
lembaga peradilan bukan lagi sandaran bagi mencari keadilan (benteng
terakhir bagi pencari keadilan), melainkan tempat untuk mencari
"kemenangan" bagi mereka yang memiliki akses (ekonomi, politik dan
nepotisme). Hakim pada lembaga peradilan seolah-olah hanya menjadi
corong undang-undang, padahal undang-undang (sebagai produk politik)
tidak selalu memenuhi rasa keadilan.
Oleh karena itu dalam mengadili suatu perkara, seharusnya para (majelis) hakim mampu menemukan hukum, sehingga keadilan substansial dapat diwujudkan.
Oleh karena itu dalam mengadili suatu perkara, seharusnya para (majelis) hakim mampu menemukan hukum, sehingga keadilan substansial dapat diwujudkan.
Di sisi lain, perilaku masyarakat dalam berhukum juga
masih cenderung permisif dengan kebiasaan suap-menyuap dan korupsi yang
merajalela, tidak saja di ranah eksekutif, dan legislatif tetapi juga di
ranah yudikatif. Dampak dari perbuatan korupsi ini tidak sebatas pada
kerugian ekonomi, melainkan berdampak juga pada pemiskinan rakyat secara
masif dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Untuk mengeleminir
permasalahan ini, maka dibutuhkan kemauan politik dari seluruh elemen
bangsa ini serta ketegasan dari aparat penegak hukum untuk menyatukan
komitmen bersama guna membaharui sistem hukum di negeri ini. Apabila
diabaikan, maka akan menjurus pada disintegrasi bangsa, sebagai akibat
dari ketidakadilan yang mereka alami.
Permasalahan lain yang masih menonjol di masyrakat saat
ini adalah ketidakadilan sosial. Kita sering menyaksikan, bahwa masih
ada golongan-golongan miskin dalam masyarakat, tetapi di pihak lain,
kita juga melihat ada kelompok tertentu yang hidup dalam kemewahan,
tetapi tidak peduli dengan nasib kelompok masyarakat miskin. Hal ini
menimbulkan kecemburuan sosial. Meskipun demikian, kita tidak boleh
menyerah begitu saja dengan kemiskinan tersebut, melainkan harus
ditelaah lebih jauh bahwa penyebab kemiskinan karena berbagai faktor.
Hal tersebut seharusnya dapat diatasi melalui penegakan
hukum yang berkeadilan di semua sektor kehidupan. Akan tetapi, hukum
tidak selalu dilihat sebagai penegak hak-hak masyarakat atau penjamin
keadilan, karena banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan
memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak
dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam
menyelesaikan berbagai kasus.
Mewujudkan keadilan sosial di negeri ini, harus mengacu pada Sila ke- 5 (lima) dari Pancasila, yakni "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Sehubungan dengan ini, Soekarno menyatakan bahwa "Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya". Dengan mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.
Pernyataan ini, seyogianya tidak dipandang dari kecenderungan
utopismenya, melainkan dari segi tekadnya yang kuat untuk mengupayakan
keadilan dan kesejahteraan sosial di seberang jembatan emas kemerdekaan.
Pencapaian tugas luhur itu tidak dipercayakan pada laissez-fair yang
berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami
pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang
disebabkan oleh kolonialisme.
Titik tumpu pencapaiannya dipercayakan kepada sosialisme
yang bersendikan semangat kekeluargaan dengan menghargai kebebasan
kreatif individu. Sosialisme Indonesia menjunjung tinggi asas persamaan
dan kebebasan individu, namun dengan penekanan bahwa individu-individu
tersebut adalah individu-individu yang kooperatif dengan sikap altruis,
yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan
kolektif. Dalam konteks yang lebih luas, keadilan sosial tidak sebatas
masalah distribusi ekonomi, melainkan mencakup keseluruhan dimensi moral
dalam penataan politik, hukum maupun aspek kemasyarakatan lainnya.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa cita-cita pendiri negara Indonesia dalam mewujudkan Negara Hukum Pancasila masih jauh antara harapan dan kenyataan. Rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan dan ketidakadilan bisa menjadi pintu masuk untuk merongrong negara hukum Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa harus tetap eksis. Negara Hukum Pancasila harus tetap dijaga, dirawat dan diperjuangkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil sebagaimana dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan negara hanya dapat terwujud dalam negara hukum Pancasila. Dalam mewujudkan tujuan negara tidak saja menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat, termasuk oleh Lembaga Pelayanan dan Bantuan Hukum (LPBH) Yayasan Komunikasi Indonesia.
Akhirnya ijinkalah pada kesempatan ini kami mengucapkan
Selamat hari Natal 25 Des 2016 dan Selamat memasuki Tahun Baru 2017
dengan harapan yang baru.
Demikian Catatan Refleksi Akhir Tahun Lembaga Pelayanan
dan Bantuan Hukum (LPBH) Yayasan Komunikasi Indonesia ini
disampaikan.