NEGARA HUKUM PANCASILA, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

 Kairospos.com, Jakarta - Dalam diskusi  REFLEKSI AKHIR TAHUN BIDANG HUKUM TAHUN 2016 yang diselenggarakan oleh LEMBAGA PELAYANAN DAN BANTUAN HUKUM YAYASAN KOMUNIKASI INDONESIA dengan topik "NEGARA HUKUM PANCASILA, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN" bertempat di Matraman 10 Jakarta pusat (30/12/2016)  Dr Daniel Yusmic P FoEkh, SH., Ketua Pengurus LPBH Yayasan Komunikasi Indonesia setuju Ormas Yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan ingin mengantikan dengan ideologi baru harus cepat dibubarkan, mendapatkan pertanyaan dari awak media apakah Pemerintah lemah menghadapi kelompok Intoleran yang semakin masif dan berani menunjukkan keberadaanya dalam menggalang massa secara besar-besaran Daniel Yusmic P FoEkh, mengatakan " Pemerintahan Jokowi-JK pada waktunya akan melakukan tindakan tegas" ucapnya.

Berikut ini kami sampaikan paparannya :
Mencermati perjalanan dan perkembangan hukum Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sepanjang tahun 2016, Lembaga Peyananan dan Bantuan Hukum (LPBH) Yayasan Komunikasi Indonesia. Kesempatan ini kami menyampaikan Refleksi Akhir Tahun Bidang Hukum dengan judul "Negara Hukum Pancasila antara Harapan dan Kenyataan"

Negara Hukum Pancasila
Salah satu ciri dari negara hukum ditandai dengan adanya konstitusi (baik tertulis maupun tidak tertulis) sebagai aturan dasar negara dan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan sebagai suatu kesatuan sistem hierarkhi norma hukum. Di sisi yang lain, konsep negara hukum tidak dapat dipisahkan dari konsep demokrasi, oleh karena itu sebutan untuk negara hukum dewasa ini tidak terpisahkan dengan negara demokrasi.
Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum". Timbul pertanyaan bagaimana desain makro penjabaran ide negara hukum tersebut? Harus diakui, bahwa selama ini amanat konstitusi tersebut belum pernah dirumuskan secara komprehensif, yang ada hanyalah pembangunan hukum yang bersifat sektoral dan sangat bergantung dengan political will pemerintah yang berkuasa.
Untuk menjabarkannya secara komprehensif, hukum hendaknya dipahami dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan dengan ideologi dan filsafat yang dianut negara. Hukum sebagai kesatuan sistem memiliki elemen kelembagaan, elemen kaidah aturan; dan elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan. Ketiga elemen sistem hukum ini mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making); (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating); dan (c) kegiatan peradilan (law adjudicating). Kegiatan-kegiatan ini terbagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu: (i) fungsi legislasi dan regulasi; (ii) fungsi eksekutif dan administratif, dan (iii) fungsi yudikatif atau judisial, yang kesemuanya harus berlandaskan ideologi Pancasila. Disamping unsur pemasyarakatan dan pendidikan hukum (socialization and law education) dan pengelolaan informasi hukum (law information managemnt).

Dalam keseluruhan elemen, komponen, hierarki, dan aspek-aspek yang bersifat sistemik yang saling berkaitan satu sama lain itulah, khusus di Indonesia, sistem hukum yang harus dikembangkan adalah dalam perspektif Negara Hukum Pancasila. Sudah seharusnya negara menyusun dan merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan konsep negara hukum berideologi Pancasila, sebagaimana diamanatkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pancasila merupakan konsep prismatik, yakni konsep yang mengambil segi-segi baik dari dua konsep yang bertentangan, yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat diaktualkan dengan kenyataan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan konsep prismatik ini, setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Konsep negara hukum Indonesia mencari jalan tengah antara konsep Rechtsstaat dan Rule of Law, yang identik dengan konsep prismatik, yaitu Negara Hukum Pancasila. Dengan kata lain, Negara Hukum Pancasila ini mengakomodir kepastian hukum yang berasal dari Rechtstaat dan keadilan substansial yang berasal dari Rule of Law, di mana keduanya sebagai conditio sine quanon. 
Keadilan substansial muncul dari sebuah kepastian hukum dan kepastian hukum bersumber dari keadilan yang dinormakan.  Hal ini berarti, kepastian hukum dan keadilan substansial akan terus bergulir dan berjalan secara konsisten bersamaan untuk  mencapai konsepsi negara hukum Pancasila yang dicitakan.

Dalam tata susunan norma hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia, Pancasila mnempati Ktegori sebagai norma dasar negara (staatsfundamentalnorm). Sebagai norma dasar negara Pancasila mengandung cita negara (staatsidee) yang tertuang dalam UUD Tahun 1945.
Dalam membangun hukum di negeri ini, Pancasila harus diposisikan sebagai bingkai dari sistem hukum, yakni sebuah sistem hukum yang khas Indonesia, yang berbeda dari sistem hukum negara lain. Arah dan watak dari sistem hukum yang hendak dibangun dan dikembangkan di Indonesia harus benar-benar menjadi hukum Indonesia. Pemerintah Indonesia seharusnya terus mengembangkan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang selama ini dapat mempersatukan seluruh elemen dalam masyarakat sekaligus mewujudkan negara hukum Indonesia yang berkeadilan sosial, sebagaimana dalam sila kelima.
Sebagai suatu sistem filsafat, masing-masing sila saling terkait sebagai suatu kesatuan, yang menyeluruh, oleh karena itu dalam memahami negara hukum Pancasila yang berkeadilan sosial harus menjiwai seluruh sila dari Pancasila. Atas dasar ini, maka dalam perumusan hukum (peraturan perundang-undangan) pun harus dilandasi oleh nilai-nilai religius, dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan sebagai sesama warga bangsa yang selalu mengedepankan rasa nasionalisme, sehingga dalam setiap pengambilan keputusan selalu diawali dengan musyawarah untuk mencapi mufakat, dan pada akhirnya semua yang dilakukan itu memenuhi rasa keadilan bagi semua golongan di republik ini.
Refleksi Penegakan Hukum Tahun 2016
Sepanjang tahun 2016, banyak kasus hukum yang menarik perhatian publik. Penegakan hukum di Indonesia mengalami berbagai dinamika yang sangat memprihatinkan. Pada kasus tertentu, politik cenderung determinan atas hukum. Dalam konsep negara hukum, hukum semestinya menjadi panglima (supreme), namun dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada), politik sangat dominan. Dasyatnya isu agama dibawah ke ranah pilkada DKI, yang dikemas secara terstruktur, sistematis, dan masif dengan menggunakan kekuatan modal bahkan media, sehingga berhasil merasuk kalbu rakyat Indonesia. Isu agama ini, berhasil merenggang ikatan toleransi yang selama ini terjalin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  
Dalam menjaga keamanan, pihak kepolisian nampaknya gamang. Hal ini terlihat pada saat demonstrasi tanggal 4 bulan November Tahun 2016 yang lalu (dikenal dengan demonstrasi 411). Demonstrasi pada hakikatnya adalah ciri negara hukum yang demokrasi, namun demonstrasi yang melanggar ketentuan peraturan perundangan-undangan jelas melanggar hakikat negara hukum itu sendiri.
Dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah seorang pasangan calon dalam Pilkada DKI Jakarta yang sedang berjalan, harus ditopang oleh peradilan yang fair dan adil menjadi sambaan semua pencari keadilan. Tekanan massa tidak boleh mempengaruhi hakim dalam mengadili kasus tersebut. Kasus ini akan menjadi batu ujian apakah majelis hakim akan mampu melahirkan putusan yang fair dan adil. Apakah Indonesia sebagai negara hukum Pancasila benar berdaulat ataukah tidak di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Dalam hal pembentukan hukum oleh lembaga legislatif, belum berhasil membuat materi muatan peraturan perundang-undangan, yang memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Produk hukum lebih mengejar kepastian hukum, daripada unsur keadilan yang substansial. Akibatnya lembaga peradilan bukan lagi sandaran bagi mencari keadilan (benteng terakhir bagi pencari keadilan), melainkan tempat untuk mencari "kemenangan" bagi mereka yang memiliki akses (ekonomi, politik dan nepotisme). Hakim pada lembaga peradilan seolah-olah hanya menjadi corong undang-undang, padahal undang-undang (sebagai produk politik) tidak selalu memenuhi rasa keadilan.

Oleh karena itu dalam mengadili suatu perkara, seharusnya para (majelis) hakim mampu menemukan hukum, sehingga keadilan substansial dapat diwujudkan.
 Di sisi lain, perilaku masyarakat dalam berhukum juga masih cenderung permisif dengan kebiasaan suap-menyuap dan korupsi yang merajalela, tidak saja di ranah eksekutif, dan legislatif tetapi juga di ranah yudikatif. Dampak dari perbuatan korupsi ini tidak sebatas pada kerugian ekonomi, melainkan berdampak juga pada pemiskinan rakyat secara masif dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Untuk mengeleminir permasalahan ini, maka dibutuhkan kemauan politik dari seluruh elemen bangsa ini serta ketegasan dari aparat penegak hukum untuk menyatukan komitmen bersama guna membaharui sistem hukum di negeri ini. Apabila diabaikan, maka akan menjurus pada disintegrasi bangsa, sebagai akibat dari ketidakadilan yang mereka alami.
Permasalahan lain yang masih menonjol di masyrakat saat ini adalah ketidakadilan sosial. Kita sering menyaksikan, bahwa masih ada golongan-golongan miskin dalam masyarakat, tetapi di pihak lain, kita juga melihat ada kelompok tertentu yang hidup dalam kemewahan, tetapi tidak peduli dengan nasib kelompok masyarakat miskin. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial. Meskipun demikian, kita tidak boleh menyerah begitu saja dengan kemiskinan tersebut, melainkan harus ditelaah lebih jauh bahwa penyebab kemiskinan karena berbagai faktor.
Hal tersebut seharusnya dapat diatasi melalui penegakan hukum yang berkeadilan di semua sektor kehidupan. Akan tetapi, hukum tidak selalu dilihat sebagai penegak hak-hak masyarakat atau penjamin keadilan, karena banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus.

Mewujudkan keadilan sosial di negeri ini, harus mengacu pada Sila ke- 5 (lima) dari Pancasila, yakni "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Sehubungan dengan ini, Soekarno menyatakan bahwa "Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya". Dengan mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.
Pernyataan ini, seyogianya tidak dipandang dari kecenderungan utopismenya, melainkan dari segi tekadnya yang kuat untuk mengupayakan keadilan dan kesejahteraan sosial di seberang jembatan emas kemerdekaan. Pencapaian tugas luhur itu tidak dipercayakan pada laissez-fair yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang disebabkan oleh kolonialisme.
Titik tumpu pencapaiannya dipercayakan kepada sosialisme yang bersendikan semangat kekeluargaan dengan menghargai kebebasan kreatif individu. Sosialisme Indonesia menjunjung tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, namun dengan penekanan bahwa individu-individu tersebut adalah individu-individu yang kooperatif dengan sikap altruis, yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif. Dalam konteks yang lebih luas, keadilan sosial tidak sebatas masalah distribusi ekonomi, melainkan mencakup keseluruhan dimensi moral dalam penataan politik, hukum maupun aspek kemasyarakatan lainnya.
Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa cita-cita pendiri negara Indonesia dalam mewujudkan Negara Hukum Pancasila masih jauh antara harapan dan kenyataan. Rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan dan ketidakadilan bisa menjadi pintu masuk untuk merongrong negara hukum Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa harus tetap eksis. Negara Hukum Pancasila harus tetap dijaga, dirawat dan diperjuangkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil sebagaimana dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan negara hanya dapat terwujud dalam negara hukum Pancasila. Dalam mewujudkan tujuan negara tidak saja menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat, termasuk oleh Lembaga Pelayanan dan Bantuan Hukum (LPBH) Yayasan Komunikasi Indonesia.
  
 Akhirnya ijinkalah pada kesempatan ini kami mengucapkan Selamat hari Natal 25 Des 2016 dan Selamat memasuki Tahun Baru 2017 dengan harapan yang baru.
  
Demikian Catatan Refleksi Akhir Tahun Lembaga Pelayanan dan Bantuan Hukum (LPBH) Yayasan Komunikasi Indonesia ini  disampaikan.

Related Posts:

0 Response to "NEGARA HUKUM PANCASILA, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN"

Post a Comment