KAIROSPOS.COM, Jakarta- Terkait maraknya tempat ibadah yang disalahgunakan dijadikan tempat kampanye pada Pilkada DKI 2017 dan desakan masyarakat yang mencintai keutuhan NKRI banyaknya tempat Ibadah yang disalahgunakan menjadi tempat kampanye dan politisasi agama dan tempat ibadah yang seharusnya netral dan steril agar keutuhan NKRI tetap dijaga dan mereka yang ingin beribadah dengan khidmat dijaga kelangsungannya, akhirnya Kementerian Agama mengeluarkan seruan mengenai ketentuan ceramah agama di rumah-rumah ibadah seluruh Indonesia. Isi Seruan yang dibacakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, di Kantor Kementerian Agama, Jalan M.H. Thamrin No. 6 Jakarta Pusat, Jumat (28/4/2017), sebagai berikut:
Mengingat keberagaman di Indonesia adalah berkah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang patut disyukuri, maka menjaga dan merawat persatuan bangsa Indonesia yang beragam ini merupakan keniscayaan.
Menimbang bahwa kehidupan masyarakat yang stabil serta terwujudnya kedamaian dan kerukunan umat beragama adalah prasyarat keberlangsungan kehidupan bersama dan keberlangsungan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera dan bermartabat. Dalam pemenuhan prasayarat dimaksud, penceramah agama dan rumah ibadah memegang peranan sangat penting.
Dalam rangka menjaga persatuan dan meningkatkan produktivitas bangsa, merawat kerukunan umat beragama, dan memelihara kesucian tempat ibadah, Menteri Agama menyampaikan seruan agar ceramah agama di rumah ibadah hendaknya memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi martabat kemanusiaan serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian umat manusia.
2. Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
3. Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama manapun.
4. Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spriritual, intelektual, emosional dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasehat, motivasi dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa serta kesejahteraan dan keadilan sosial.
5. Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konsensus bangsa Indonesia, yaitu; Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
6. Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan ataupun merusak ikatan bangsa.
7. Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan dan atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktik ibadah antar atau dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis dan destruktif.
8. Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan atau promosi bisnis.
9. Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.
Lukman mengatakan, seruan ini dibuat dalam rangka menjaga rasa persatuan dan meningkatkan produktivitas bangsa, merawat kerukunan antar-umat beragama, dan memelihara kesucian rumah ibadah.
"Kehidupan masyarakat harus stabil, damai harus terwujud dan kerukunan umat beragama adalah persyaratan keberlangsungan hidup bersama dan keberlangsungan pembangunan menuju Indonesia yangs sejahtera dan bermartabat. Dalam pemenuhan prasyarat yang dimaksud, penceramah agama dan rumah ibadah memegang peranan sangat penting," ujar Lukman.
Kebijakan ini dinilai masyarakat sangat terlambat menurut pengamatan penulis pada bulan Januari 2017 sudah banyak tokoh masyarakat dan aktifis menyoroti peran tempat ibadah disalahgunakan, banyak pengalaman masa lalu membuktikannya, Pemerintah terkesan safety player jika tidak mau dikatakan takut mendapat protes dan tekanan dari kelompok tertentu.
Home » Archive for April 2017
GP ANSOR SIAP MENGAWAL NKRI DARI ORMAS INTOLERAN
KAIROSPOS.COM, Jakarta - Wakil Ketum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor Moh. Haerul Amri dengan panggilan akrabnya Mas Aam menyampaikan pesan khusus melalui wawancara dengan Radio Pelita Kasih (RPK 96.3 FM) dalam acara Obesi bersama PEWARNA Indonesia (Persatuan Wartawan Nasrani) dengan Topik "Menata Jakarta dengan Semangat Persatuan Indonesia" Senin (24/04/2017) Jam 9. Pagi. Dalam kesempatan tersebut Mas Aam panggilan akrabnya mengucapkan selamat pada Pasangan Pemenang Pilkada DKI Jakarta 2017 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Mas Aam yang merupakan Tim Sukses Pemenangan Basuki-Djarot mengajak semua pihak bersatu membangun Jakarta, program program yang sudah dilaksanakan dan dikerjakan Basuki Djarot dilanjutkan dan ditingkatkan kualitasnya, persaingan Plikada yang baru lalu ibaratnya pertandingan sepakbola, pasti ada tacling keras yang menyakiti lawan, ada yang kena kartu kuning dan itu biasa dalam pertandingan paparnya. Aam menambahkan adanya nuansa SARA yang sangat kental khususnya menyangkut Etnis dan Agama adalah kampanye hitam tidak terpuji yang dapat memecah belah NKRI dan jangan dilakukan lagi kedepan paparnya. Mengenai adanya Ormas yang ingin mendeklarasikan Khilafah di Indonesia GP Ansor menentang keras dan mengajukan surat protes pada Kapolri agar jangan diberikan ijin paparnya, mereka kebablasan karena diberi ruang demokrasi malah menyalahgunakannya, bagi kami NKRI adalah Harga Mati tutupnya.
Pada kesempatan itu Ronny F. Sompie sekarang menjabat Dirjen Imigrasi Kemenkumham yang pernah menjabat Kahumas Polri dan Kapolda Bali menyampaikan pendapatnya bahwa warga DKI Jakarta sudah mulai dewasa dan matang dalam bertindak dan berfikir, belajar dari masa masa sulit sebelumnya pada Pilpres 2009, 2014, terjadi kericuhan dapat ditangani aparat keamanan dengan baik, kemudian ditarik lagi pada peristiwa pahit 1998 dimana Ronny Sompie bertugas di Polres Jakarta Pusat dapat juga dilalui oleh masyarakat Jakarta, masyarakat Jakarta punya pengalaman dengan hal itu sehingga kekalahan Basuki-Djarot pada 19 April lalu tidak menimbulkan kericuhan sosial paparnya. Ronny berpesan pada para politisi tokoh ormas jangan membawa bawa massa dari luar DKI Jakarta karena akan menambah beban masyarakat Jakarta termasuk pengamanannya biarkanlah masyarakat Jakarta menyelesaikannya sendiri imbuhnya. Acara Obsesi PEWARNA-RPK yang dipandu oleh Thony Ermando, Dedi Poltak Tambunan dan Arthur Theysen mendapat aplaus dari Ronny F. Sompie agar masyarakat selalu diajak interaktif dan dicerahkan dengan diskusi dan informasi yang positif. (Thony)
Pada kesempatan itu Ronny F. Sompie sekarang menjabat Dirjen Imigrasi Kemenkumham yang pernah menjabat Kahumas Polri dan Kapolda Bali menyampaikan pendapatnya bahwa warga DKI Jakarta sudah mulai dewasa dan matang dalam bertindak dan berfikir, belajar dari masa masa sulit sebelumnya pada Pilpres 2009, 2014, terjadi kericuhan dapat ditangani aparat keamanan dengan baik, kemudian ditarik lagi pada peristiwa pahit 1998 dimana Ronny Sompie bertugas di Polres Jakarta Pusat dapat juga dilalui oleh masyarakat Jakarta, masyarakat Jakarta punya pengalaman dengan hal itu sehingga kekalahan Basuki-Djarot pada 19 April lalu tidak menimbulkan kericuhan sosial paparnya. Ronny berpesan pada para politisi tokoh ormas jangan membawa bawa massa dari luar DKI Jakarta karena akan menambah beban masyarakat Jakarta termasuk pengamanannya biarkanlah masyarakat Jakarta menyelesaikannya sendiri imbuhnya. Acara Obsesi PEWARNA-RPK yang dipandu oleh Thony Ermando, Dedi Poltak Tambunan dan Arthur Theysen mendapat aplaus dari Ronny F. Sompie agar masyarakat selalu diajak interaktif dan dicerahkan dengan diskusi dan informasi yang positif. (Thony)
Related Posts:
Perayaan Paskah FORMAG di Gereja St. Matius Bintaro: Kebersamaan Gereja-Gereja Menampakkan Wajah Kristus Yang Bangkit
KAIROSPOS.COM, JAKARTA- “Kita ini (di antara gereja gereja lintas denominasi/aliran,
red), memiliki banyak sekali persamaan sebagai pengikut Kristus. Mengapa
sibuk mempertentangkan perbedaan yang sebenarnya kecil kecil dan tidak
menekankan persamaan itu, lalu bekerja sama mewartakan Injil Kristus?”
Kata Rm. Yakobus Sriyatmoko SX, di basement aula Paroki St. Matius
Penginjil Bintaro di depan ratusan jemaat dari berbagai Gereja
denominasi.
Sore itu, 22 April 2017 hujan sangat lebat. Namun suasana meriah dan akrab begitu tampak di basement aula Paroki St. Matius Bintaro. Pasalnya, di sana diselenggarakan ibadah oikumenis yang dipimpin oleh Rm. Yakob, demikian panggilan akrab romo pembimbing atau formator untuk para novis Xaverian. Lebatnya hujan sore itu, tidak mengurangi semangat sejumlah anak muda dari GPIB Gibeon yang sempat kebingungan di mana tempat ibadahnya. Mereka langsung memarkirkan mobil mobil mereka persis di samping gereja, dan kami beritahu bahwa acara diselenggarakan di basement aula paroki. Mereka membawa alat alat musik yang biasa mereka gunakan untuk bernyanyi bersama dan merayakan ibadah.
Menyusul kemudian kelompok bapak ibu dari GPIB Sejahtera menampilkan VG PKB SOLA GRACIA dan PS ORA ET LABORA, yang juga mempersiapkan persembahan lagu dalam ibadah oikumene kali ini. Kelompok yang juga cukup banyak, hampir dua puluh orang hadir adalah dari paduan suara GKI Bintaro. Sedianya, Gereja ini juga menampilkan band dari anak anak muda. Sayangnya, hujan menjadi kendala untuk mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Mereka semua hadir untuk bersama sama merayakan ibadah paskah FORMAG, forum musyawarah antar Gereja.
Yang tidak kalah heboh dan juga membuat suasana meriah adalah hadirnya penyelenggara utama ibadah kali ini, Romo Yakob hadir bersama dengan anak anak didiknya, para frater yang sedang menggulati panggilannya di awal awal pembentukan, novisiat dari kata novum yang berarti baru. Mereka sangat lincah dalam menyelenggarakan dan piawai memainkan musik dan koor. Ada 20an anggota komunitas yang hadir dan memeriahkan acara. Tampak hadir dari Gereja Katolik, bapak bapak dan anak muda dari lingkungan Adisucipto serta perwakilan ibu ibu dari wilayah dua. Selain dihadiri dari gereja gereja tersebut, juga hadir beberapa perwakilan dari gereja gereja lain seperti GKJ, HKBP, GKMI.
Natal dan Paskah FORMAG Kecamatan Pesanggrahan secara rutin diselenggarakan bersama dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebagai murid murid Tuhan, para pengurus merasa memang sudah saatnya bergandengan tangan menunjukkan ke dalam bahwa mereka bersatu dengan menekankan persamaan sebagaimana disampaikan oleh Romo Yakob. Dalam kotbahnya, pastor Yakob mengatakan bahwa kebangkitan kristus memiliki beberapa makna: pertama bahwa penderitaan adalah bermakna bagi manusia sehingga bukan sesuatu yang harus dihindari melainkan harus ditaati, kedua bahwa paskah mengubah ketakutan menjadi keberanian, ketiga bahwa dengan kebangkitan paskah para murid yang tercerai berai menjadi bersatu kembali, dan yang keempat kebangkitan paskah menjadikan kekuatan bagi para murid untuk menyampaikan kesaksian iman.
Dalam banyak hal, Gereja kristen menghadapi tantangan apalagi sebagai masyarakat yang minoritas. Dan kebangkitan paskah itu memberikan semangat, “kami tidak bisa tidak memberitakan apa yang kami saksikan.” Maka, kalau umat Kristen bersatu dan bekerja sama, sungguh menjadi kekuatan yang lur biasa untuk masyarakat dan dunia, termasuk dalam hal politik.
Selain natal dan paskah, FORMAG yang merupakan salah satu ormas resmi yang terdaftar di Kemenkumham sudah melaksanakan berbagai program kegiatan seperti donor darah bersama, TOT Enterpreunership, seminar anti narkoba, Tanggap bencana, Seminar etika politik kristen, dll. Kali ini ke depan mereka akan melakukan retret bersama pemuda lintas Gereja.
Acara diakhiri dengan bergandengan tangan bersama sambil menyanyikan lagu kemesraan yang kemudian ditutup doa oleh Pendeta Petrus Aristoteles Metanfanuan. Selamat Paskah semua, Semoga kita sungguh sungguh dapat mewujudkan doa Yesus sebagaimana ada dalam Injil Yohanes 17, Ya bapa semoga mereka satu padu, sama seperti Aku dan Engkau adalah satu… So, kalau gereja saja terpecah pecah, bagimana bisa memperdengarkan suara persatuan dan kebersamaan?
Penulis : Herulono Murtopo
Sore itu, 22 April 2017 hujan sangat lebat. Namun suasana meriah dan akrab begitu tampak di basement aula Paroki St. Matius Bintaro. Pasalnya, di sana diselenggarakan ibadah oikumenis yang dipimpin oleh Rm. Yakob, demikian panggilan akrab romo pembimbing atau formator untuk para novis Xaverian. Lebatnya hujan sore itu, tidak mengurangi semangat sejumlah anak muda dari GPIB Gibeon yang sempat kebingungan di mana tempat ibadahnya. Mereka langsung memarkirkan mobil mobil mereka persis di samping gereja, dan kami beritahu bahwa acara diselenggarakan di basement aula paroki. Mereka membawa alat alat musik yang biasa mereka gunakan untuk bernyanyi bersama dan merayakan ibadah.
Menyusul kemudian kelompok bapak ibu dari GPIB Sejahtera menampilkan VG PKB SOLA GRACIA dan PS ORA ET LABORA, yang juga mempersiapkan persembahan lagu dalam ibadah oikumene kali ini. Kelompok yang juga cukup banyak, hampir dua puluh orang hadir adalah dari paduan suara GKI Bintaro. Sedianya, Gereja ini juga menampilkan band dari anak anak muda. Sayangnya, hujan menjadi kendala untuk mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Mereka semua hadir untuk bersama sama merayakan ibadah paskah FORMAG, forum musyawarah antar Gereja.
Yang tidak kalah heboh dan juga membuat suasana meriah adalah hadirnya penyelenggara utama ibadah kali ini, Romo Yakob hadir bersama dengan anak anak didiknya, para frater yang sedang menggulati panggilannya di awal awal pembentukan, novisiat dari kata novum yang berarti baru. Mereka sangat lincah dalam menyelenggarakan dan piawai memainkan musik dan koor. Ada 20an anggota komunitas yang hadir dan memeriahkan acara. Tampak hadir dari Gereja Katolik, bapak bapak dan anak muda dari lingkungan Adisucipto serta perwakilan ibu ibu dari wilayah dua. Selain dihadiri dari gereja gereja tersebut, juga hadir beberapa perwakilan dari gereja gereja lain seperti GKJ, HKBP, GKMI.
Natal dan Paskah FORMAG Kecamatan Pesanggrahan secara rutin diselenggarakan bersama dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebagai murid murid Tuhan, para pengurus merasa memang sudah saatnya bergandengan tangan menunjukkan ke dalam bahwa mereka bersatu dengan menekankan persamaan sebagaimana disampaikan oleh Romo Yakob. Dalam kotbahnya, pastor Yakob mengatakan bahwa kebangkitan kristus memiliki beberapa makna: pertama bahwa penderitaan adalah bermakna bagi manusia sehingga bukan sesuatu yang harus dihindari melainkan harus ditaati, kedua bahwa paskah mengubah ketakutan menjadi keberanian, ketiga bahwa dengan kebangkitan paskah para murid yang tercerai berai menjadi bersatu kembali, dan yang keempat kebangkitan paskah menjadikan kekuatan bagi para murid untuk menyampaikan kesaksian iman.
Dalam banyak hal, Gereja kristen menghadapi tantangan apalagi sebagai masyarakat yang minoritas. Dan kebangkitan paskah itu memberikan semangat, “kami tidak bisa tidak memberitakan apa yang kami saksikan.” Maka, kalau umat Kristen bersatu dan bekerja sama, sungguh menjadi kekuatan yang lur biasa untuk masyarakat dan dunia, termasuk dalam hal politik.
Selain natal dan paskah, FORMAG yang merupakan salah satu ormas resmi yang terdaftar di Kemenkumham sudah melaksanakan berbagai program kegiatan seperti donor darah bersama, TOT Enterpreunership, seminar anti narkoba, Tanggap bencana, Seminar etika politik kristen, dll. Kali ini ke depan mereka akan melakukan retret bersama pemuda lintas Gereja.
Acara diakhiri dengan bergandengan tangan bersama sambil menyanyikan lagu kemesraan yang kemudian ditutup doa oleh Pendeta Petrus Aristoteles Metanfanuan. Selamat Paskah semua, Semoga kita sungguh sungguh dapat mewujudkan doa Yesus sebagaimana ada dalam Injil Yohanes 17, Ya bapa semoga mereka satu padu, sama seperti Aku dan Engkau adalah satu… So, kalau gereja saja terpecah pecah, bagimana bisa memperdengarkan suara persatuan dan kebersamaan?
Penulis : Herulono Murtopo
Related Posts:
TOLAK JAKARTA BERSYARIAH, PRABOWO SIAP PASANG BADAN
KAIROSPOS.COM, Jakarta - Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Letjend (Purn) Prabowo Subianto Djoyohadikusumo mengaku siap pasang badan untuk menjamin tidak akan ada Jakarta Bersyariah.
Hal itu dikatakan Prabowo, dalam kata sambutannya saat menghadiri acara deklarasi dukungan komunitas kristen interdenominasi gereja kepada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, nomor urut 3, Anies-Sandi di Aula , belakang hotel, Senayan, Jakarta.
"Partai Gerindra yang mengusung Anies-Sandi adalah partai Nasionalis yang berlandaskan Pancasila. Beragam suku, agama dan ras ada di Gerindra. Jadi, tidak mungkin mendukung Jakarta bersyariah sperti yang banyak diberitakan," tegas mantan Danjend Kopasus itu di hadapan ratusan umat kristiani, Selasa (11/04/2016) sore.
Dikatakan Prabowo, bukan kali ini saja Gerindra, khususnya dirinya mengalami pemberitaan yang tidak benar (hoax).
"Tiga kali saya ikut Pemilu, selama itu sering diberitakan yang tidak benar, termasuk dibilang makar," ungkapnya.
Menurut dia, dirinya telah mengenal Anies dan Sandi dengan baik sebagai seorang yang nasionalis. Melalui acara tersebut, lanjut Prabowo, sebagai bukti bahwa Anies-Sandi juga didukung masyarakat Jakarta yang non muslim, khususnya umat kristiani.
"Jadi tidak benar kalau dibilang orang kristen mendukung calon sebelah. Bukan cuman kristen, hindu, budha, etnis tionghoa juga mendukung Anies-Sandi," katanya.
Dalam acara deklarasi tersebut, calon gubernur Anies Baswedan tidak dapat hadir, namun menurut Cawagubnya, Sandiaga Uno yang hadir dalam acara itu, Anies mengetahui dukungan komunitas kristen interdenominasi terhadap dirinya.
"Pak Anies tahu acara ini, dan saya akan sampaikan hasil pertemuan hari ini, termasuk aspirasi umat kristiani," kata Sandiaga dalam orasi politiknya.
Turut hadir dalam acara tersebut, Ketua Dewan Pembina Komunitas Ktisten interdenominasi Gereja yang juga Ketua Dewan Pembina, Organisasi Sayap Gerindra Kristen Indonesia Raya (KIRA), Hasym Djoyohadikusumo, anggota DPR RI Fraksi Gerindra Aryo Dj, Ketua DPD KIRA DKI Jakarta, Pirton Hutagalung dan pengurus pusat KIRA. (ARP)
Penulis : Agus R. Panjaitan.
Related Posts:
BATAK MARBISUK UNTUK JAKARTA DUKUNG PASLON 3
KAIROSPOS.COM, JAKARTA- Pertarungan mendapatkan simpati dari masyarakat yang pada akhirnya menjatuhkan pilihannya pada salah satu paslon yang bertarung semakin ketat. Inilah momentum menentukan jelang akhir kampanye Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, yang akan
berakhir pada 15 April 2017, lalu memasuki masa tenang pada 16-18 April 2017,
kemudian hari pemungutan suara di 19 April 2017, eskalasi dukungan masyarakat
kian menggeliat semarak, khususnya kepada Paslon nomer 3 Anies R.
Baswedan-Sandiaga S. Uno.
Hari ini Sabtu (8 April 2017) Paslon nomer 3 Anies-Sandi, mendapat tambahan
dukungan masyarakat basis untuk putaran kedua pilkada nanti. Dukungan datang
dari komunitas yang menamakan diri ‘Batak Marbisuk untuk Jakarta’. Nama
komunitas yang bermakna masyarakat ‘Batak Berhikmat untuk Jakarta’, pagi hingga
siang tadi bertempat disuatu ballroom hotel didaerah Cawang Jakarta Timur,
melakukan dialog dan penyampaian deklarasi dukungan dari ribuan anggota
komunitas ‘Batak Marbisuk untuk Jakarta’ kepada Paslon nomer 3 Anies-Sandi,
yang pada kesempatan tadi langsung diterima oleh Anies R. Baswedan.
Hadir dalam acara dialog dan penyampaian deklarasi dukungan siang tadi,
ribuan orang warga komunitas ‘Batak Marbisuk untuk Jakarta’, terdiri dari
ratusan artis Batak, ratusan warga komunitas Batak dari berbagai latarbelakang
agama (Kristen dan Islam), latarbelakang profesi (artis, kontraktor, pelaku
usaha, karyawan, profesional, dsb), dan termasuk komunitas muda-mudi Batak.
Pada kesempatan pertemuan siang tadi, sejumlah perwakilan unsur-unsur
anggota komunitas ‘Batak Marbisuk untuk Jakarta’, menyampaikan sejumlah hal
kepada Calon Gubernur DKI Jakarta Anies R. Baswedan. Mereka mewakili unsur
tokoh agama, tokoh masyarakat, serta mewakili artis dan musisi.
Pertemuan yang kental dengan suasana dan nuansa persaudaraan, disemaraki
dengan penampilan artis dan musisi Batak, sebagai tanda hati komunitas ‘Batak
Marbisuk untuk Jakarta’ kepada Anies R. Baswedan, sebuah ulos disematkan
dipundak Calon Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Anies R. Baswedan setelah melakukan dialog dalam suasana akrab dan hangat,
dan setelah memperhatikan aspirasi yang disampaikan dalam dialog tersebut,
Anies pun menyetujui aspirasi yang disampaikan demi perbaikan, kebaikan, dan
perkembangan/kemajuan DKI Jakarta. Anies menandatangani naskah deklarasi
dukungan yang disampaikan, adapun isi deklarasi tersebut sebagai berikut :
“Kami Artis dan Musisi
Batak, Kontraktor kecil menengah, generasi muda Batak, Tokoh Agama dari
berbagai gereja di DKI Jakarta yang tergabung dalam Batak Marbisuk (Berhikmat)
untuk Jakarta dengan ini mendukung dan siap memenangkan pasangan calon Gubernur
dan Wakil Gubernur nomer urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI
Jakarta 2017.
Kami berharap bila
Anies-Sandi terpilih dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut :
1. Menjamin kebebasan
beribadah bagi semua agama dan tidak mempersulit pendirian rumah ibadah.
2. Membuka peluang
seluas-luasnya bagi kontraktor kecil dan menengah bersaing secara sehat dan
terbuka dalam semua proyek di DKI dengan menghapus sistem lelang konsolidasi.
3. Memberi peluang
seluas-luasnya bagi putra-putri terbaik Batak untuk berkarya di Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta.
4. Menjamin toleransi
antar umat beragama dan menjunjung tinggi komitmen berbangsa dan bernegara
dalam bingkai NKRI.
5. Menjalankan
pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan tidak korupsi.”
Related Posts:
UKI Selenggarakan Seminar Nasional Hukum Perburuan yang bertajuk “Kajian Juridis PP No. 78 TAHUN 2015 'Tentang Pengupahan Dan Dampak yang Ditimbulkannya"
KAIROSPOS.COM, JAKARTA- Tuntutan kenaikan upah buruh selalu menjdi topik menarik bagi masyarakat dimana pada akhirnya menjadi momok pengusaha karena mogok masal dan aksi unjuk rasa.
Menyikapi permasalahan tersebut agar menjadi terang menderang dan bisa dicarikan solusinya Universitas Kristen Indonesia mengulasnya pada Seminar Perburuhan Program Magister Ilmu Hukum (MIH) Program Pascasarjana Univesitas Kristen Indonesia (PPs UKI), mencoba membahas permasalahan PP No. 78 Tahun 2015 melalui Seminar Nasional Hukum Perburuan yang bertajuk “Kajian Juridis PP No. 78 TAHUN 2015 'Tentang Pengupahan Dan Dampak yang Ditimbulkannya' pada Jumat (7/04/2017).
Seminar Perburuhan Program Magister Ilmu Hukum (MIH) Program Pascasarjana Univesitas Kristen Indonesia (PPs UKI) menghadirkan Narsum; Prof. Mucthar Pakpahan Guru Besar UKI, Kementerian Ketenagakerjaan Ir. Dinar Titus J.MBA Dari APINDO Galih Cipta Sumadiredja dan Mantan Hakim PHI Medan Daulat Sihombing, MH.
Dalam bahasannya Guru Besar Universitas Kristen Indonesia (UKI) Mucthar Pakpahan mengatakan aturan keluarnya PP nomor 78 tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo membawa masa suram bagi buruh. Sebab, menurutnya harapan kesejahteraan buruh dibunuh dengan dikeluarkannya PP 78/2015. Yang jelas bertentangan dengan UU tenaga kerja nomor 13 th 2003 pasal 89, 90 junto 153. Apalagi, Muchtar menambahkan ada tiga ratus kasus buruh yang penanganannya tidak jelas, penegak hukum selalu menganggap remeh terhadap laporan laporan kasus buruh. Sikap itu merupakan imbas adanya beleid tersebut.
"Jika dikategorikan ada enam kategori kasus buruh yaitu; pengerdilan serikat buruh, outsoursching yang melanggar UUD pasal 33 upah dibawah UMP, pekerja tidak diikutkan BPJS, PHK semena mena sebagai dampak dari PP 78 dan logo," paparnya.
Ketua Serikat Buruh itu menambahkan kasus soal hukum perburuhan membuat semakin lemah dengan dikeluarkan aturan itu. Dia menegaskan ini menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Joko Widodo yang sejak awal didukung buruh di Indonesia.
"Ini tentunya kembali kepada Presiden yang memang tidak tegas terhadap kasus kasus sengketa antara buruh dengan pengusaha, ribuan bahkan jutaan buruh masih berupah dibawah UMR/UMP, dan ini tidak ada penegakkan hukum terhadap para pengusaha sesuai UU tenaga kerja no: 13 th 2003 pasal 89. 90 yang mengharuskan pengusaha membayar upah sesuai UMP dan UMR,” paparnya.
Dari Pihak Pemerintah yang diwakili Departemen Tenaga Kerja Ir. Dinar Titus J.MBA memaparkan bahwa Pemerintah sudah berupaya keras membuat kebijakan yang mengakomodir semua pihak terkait buruh dan pengusaha. PP No. 78 Tahun 2015 sudah memada. Lebih lanjut tentang isi kebijakan pemerintah disini Ini Isi PP 78/2015 tentang Pengupahan.
Perwakilan dari APINDO Galih Cipta Sumadiredja memaparkan rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia. Peringkat Human Development Index yang dikeluarkan UNDP menunjukkan kualitas tenaga kerja masih tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
"Di antara negara Asean peringkat Indonesia ini masih kalah dibandingkan Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand," tuturnya.Rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia menjadi penyebab utama rendahnya upah yang diterima,"Apabila ada satu karyawan yang mampu mengerjakan pekerjaan untuk sepuluh orang tentulah memperoleh upah yang tinggi" kata Galih yang mewakili APINDO. baca artikel ini.
Related Posts:
PRABOWO SOSIALISASIKAN PROGRAM ANIS-SANDY PADA PARA PENDETA PGPI
KAIROSPOS.COM, JAKARTA-Persekutuan Gereja Pantekosta Indonesia (PGPI) DKI gelar pertemuan dengan tim pengusung paslon Anies Sandi, Sabtu 8 April 2017. Pertemuan yang dihadiri tiga ratusan hamba Tuhan ini berlangsung tertutup bagi wartawan. Namun berdasarkan informasi dari salah satu panitia bahwa perttemuan tertutup bagi wartawan ini semata agar menjaga situasi yang kondusif jangan sampai keluar berita-berita yang justru menimbulkan situasi Pilkada ini semakin gaduh. Dan setelah usia pertemuan dia berjanji akan memberikan keterangan dari hasil pertemuan dengan para wartawan.
Benar saja setelah usia acara Pdt. Jason Balompapueng menghampiri para wartawan untuk memberikan keterangannya . “Jadi sekali lagi pertemuan semata merespon undangan dari pihak tim Anies Sandi untuk mendengarkan visi dan misinya , bukan kami yang mengundang,”ujarnya tegas. Dan pertemuan hari ini tidak ada dukung mendukung ataupun deklarasi-deklarasian, ini hanya mendengar visi misi saja. Dan di depan para wartawan Jason yang juga bendahara umum PGPI Pusat menghimbau kepada semua orang Kristen dan masyarakat Jakarta dalam PILKADA jangan memilih paslon tertentu berdasarkan agama apalagi sentimen agama, Jason mewanti-wanti.
PGPI DKI sendiri sambung Jason menyarankan bagi warganya memilih pemimpin yang pro Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan selalu setia kepada NKRI. Silahkan memilih sesuai dengan keyakinan masing-masing, dalam hal ini PGPI tidak mengarahkan ataupun memihak kepada paslon tertentu. Sementara sambung Jason bukan saja dari pihak paslon Anies Sandi tetapi PGPI juga siap menerima dari paslon lain apabila ada permohanan bertemu untuk melakukan pemaparan misi dan visinya di depan warga PGPI sendiri. “Prinsip kami bicara gereja terbuka menerima siapa saja, karena disinilah fungsi dari gereja untuk memberikan nasihat-nasihat bagi siapapun yang meminta untuk bertemu itu bisa dilakukan,” terangnya serius. Gereja harus terus memilihara kerukunan. Dan apa yang dikatakan itu juga sama yang disampaikan kepada Prabowo Subianto pada pertemuan siang itu dimana PGPI sikapnya jelas memilih pemimopin berdasarkan kriteria diatas pemimin harus setia pada Pancasila, UUD 45 dan Bhinneka Tunggal Ika serta NKRI.
Benar saja setelah usia acara Pdt. Jason Balompapueng menghampiri para wartawan untuk memberikan keterangannya . “Jadi sekali lagi pertemuan semata merespon undangan dari pihak tim Anies Sandi untuk mendengarkan visi dan misinya , bukan kami yang mengundang,”ujarnya tegas. Dan pertemuan hari ini tidak ada dukung mendukung ataupun deklarasi-deklarasian, ini hanya mendengar visi misi saja. Dan di depan para wartawan Jason yang juga bendahara umum PGPI Pusat menghimbau kepada semua orang Kristen dan masyarakat Jakarta dalam PILKADA jangan memilih paslon tertentu berdasarkan agama apalagi sentimen agama, Jason mewanti-wanti.
PGPI DKI sendiri sambung Jason menyarankan bagi warganya memilih pemimpin yang pro Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan selalu setia kepada NKRI. Silahkan memilih sesuai dengan keyakinan masing-masing, dalam hal ini PGPI tidak mengarahkan ataupun memihak kepada paslon tertentu. Sementara sambung Jason bukan saja dari pihak paslon Anies Sandi tetapi PGPI juga siap menerima dari paslon lain apabila ada permohanan bertemu untuk melakukan pemaparan misi dan visinya di depan warga PGPI sendiri. “Prinsip kami bicara gereja terbuka menerima siapa saja, karena disinilah fungsi dari gereja untuk memberikan nasihat-nasihat bagi siapapun yang meminta untuk bertemu itu bisa dilakukan,” terangnya serius. Gereja harus terus memilihara kerukunan. Dan apa yang dikatakan itu juga sama yang disampaikan kepada Prabowo Subianto pada pertemuan siang itu dimana PGPI sikapnya jelas memilih pemimopin berdasarkan kriteria diatas pemimin harus setia pada Pancasila, UUD 45 dan Bhinneka Tunggal Ika serta NKRI.
Related Posts:
MERAWAT KEMAJEMUKAN DALAM NKRI
KAIROSPOS.COM, Jakarta- Berikut ini Kairospos menyampaikan bahan makalah yang disampaikan oleh Andreas A. Yewangoe Dalam
Diskusi Tentang Kebangsaan di UKI, 5 April 2017. Mantan Ketua Umum
PGI (2004-2014), Ketua Majelis Pertimbangan PGI (2014-2019), Senor Fellow
Institut Leimena. Artikel ini bisa untuk referensi membuat tulisan tentang Keberagaman bagi rekan rekan Jurnalis atau bahan skripsi untuk mahasiswa/i dan pengetahuan yang mendidik bagi pembaca setia Kairospos.
I.
Tentang
Kemajemukan
Tentang
kemajemukan, sebagaimana dikatakan berkali-kali pada berbagai kesempatan adalah
sesuatu yang terterima (given) bagi
negeri kita. Apabila kita berbicara tentang “persatuan” dan “kesatuan”, maka “kemajemukan”
harus diakui dan diterima. Itulah yang ada dalam benak para pendiri bangsa ini.
Mereka juga sangat visioner sehingga menciptakan semboyan (yang diambil dari
Mpu Tantular): “Bhinneka Tunggal Ika”,
Berbeda-beda tetapi satu.
Indonesia
sebagai satu bangsa adalah novum di
atas panggung sejarah dunia. “Sumpah Pemuda” 1928 menegaskan itu. “Proklamasi
Kemerdekaan” 1945 makin menggarisbawahi bahwa yang memproklamasikan kemerdekaan
adalah BANGSA Indonesia. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 diucapkan penuh nuansa
kebangsaan. Itulah sebabnya Bung Karno mendahulukan Kebangsaan (Peri
Kebangsaan) di dalam pidatonya itu. Bung Karno bertanya: “Apakah bangsa?” Dengan
mengutip beberapa ahli, Bung Karno menjawab, bangsa adalah mereka yang bertekad
untuk bersatu. Bangsa adalah mereka yang mempunyai nasib yang sama. Nasib yang
sama itu adalah penderitaan yang dialami bersama karena kolonialisme dan
imperialisme bangsa-bangsa asing (Belanda, Inggris, Jepang). Maka ketika kita
memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu, kita bukan hanya sekadar memproklamirkan
kemerdekaan kita, melainkan juga mendeklarasikan bahwa kita adalah SATU BANGSA,
dan bahwa bangsa itu sekarang sudah ada di atas pentas sejarah dunia:
Indonesia. Bangsa ini setara dengan bangsa-bangsa beradab lainnya di dunia ini.
II.
Tidak
Selalu Bertindah-tepat
Tetapi
“memproklamasikan” tidak selalu bertindih-tepat dengan “kenyataan”. Das Sollen tidak identik dengan Das Sein. Hal satu bangsanya kita tidak
sekali jadi. Instan. Ada pergumulan. Ada pasang-surut, ada jatuh-bangunnya.
Sebagaimana
sejarah memperlihatkan di dalam Badan
Penyelidik Upaya Kemerdekaan Indonesia, setidak-tidaknya ada dua “aliran”
besar yang mempunyai ide tentang Indonesia yang terbentuk nanti. Untuk
mudahnya, sebut saja “Aliran Islam” dan “Aliran Kebangsaan”. Aliran Islam
menghendaki negara Indonesia sebagai sebuah negara Islam atas dasar Al Qur’an
dan Hadits. Pada pihak lain, golongan kebangsaan menghendaki terbentuknya “Negara
Kebangsaan”, di mana tidak ada satu agama pun dijadikan dasar bernegara. Bung
Karno mengusulkan “Pancasila” dalam pidato 1 Juni 1945 tersebut. “Panitia
Sembilan” memodifikasi pidato 1 Juni 1945 tersebut yang kemudian dikenal
sebagai “Piagam Djakarta”. Dalam Piagam itu tercantum kata-kata, “...Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya.”
(22 Juni 1945). Rumusan itu kemudian
diubah lagi pada 18 Agustus 1945 setelah adanya protes dari para tokoh
Indonesia Timur. Rumusan itu ditengarai bersifat diskriminatip terhadap
non-muslim. Pada pendiri bangsa, demi kesatuan dan persatuan dan dengan visi
yang jelas kemudian mengubah rumusan itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
sebagaimana kita temui sekarang didalam Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya semua
rumusan yang terkesan diskriminatip dihapuskan dari draft UUD 1945, misalnya “Presiden
Republik Indonesia harus beragama Islam”.
Proklamasi
17 Agustus 1945, dengan demikian menegaskan, negara yang diproklamasikan itu adalah Negara
Kebangsaan atas dasar Pancasila. Negara itu adalah “Negara Kesatuan Republik
Indonesia” (NKRI).
Tetapi
fakta di lapangan lain sekali. Van Mook, Penguasa Kolonial Belanda tetap
mendorong dibentuknya negara-negara bahagian, sehingga dibayangkan Indonesia
akan berbentuk negara federasi. Ada Negara Pasundan, Negara Madura, Negara
Indonesia Timur (NIT), dan seterusnya. Belanda tidak mengakui Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal tidak diakuinya proklamasi itu berpuncak pada
agresi militer sebanyak 2 kali ke ibukota RI waktu itu, Yogyakarta. Belanda
menyebutnya “Aksi Polisi” (Politieonele
Actie) sebab beranggapan bahwa mereka masih berhadapan dengan persoalan di
dalam negerinya sendiri, sedangkan kita menyebutnya “Agresi Militer” (Militairre Agressie). Yang diserang adalah
sebuah negara berdaulat.
Atas
dorongan dan tekanan internasional (PBB) dan didukung pula oleh aksi-aksi
militer/perang gerilya di dalam negeri, pada akhirnya diselenggarakan “Konferensi
Meja Bundar” (KMB) yang diikuti oleh: Republik Indonesia, BFO (Bijeenkomst Federale Overleg/Badan
Musyawarah Federal). Konferensi yang tidak mudah itu berakhir dengan “Penyerahan
Kedaulatan”, (Souvereiniteit Overdraag,
versi Belanda), sedangkan kita memahaminya sebagai “Pengakuan Kedaulatan” (Souvereiniteit Erkenning) pada 27
Desember 1949. Jadi di mata Belanda kita baru merdeka pada tahun 1949.
Berdasarkan
persetujuan itu, Indonesia menjadi negara federal (Republik Indonesia
Serikat/RIS). Lalu dibentuk pula “Uni Indonesia-Belanda” di mana Ratu Belanda
menjadi Ketua sedangkan Presiden RIS menjadi Wakil Ketua. Selanjutnya Irian
Barat tidak termasuk pada kesepakatan ini, dan masih akan dibicarakan
sekurang-kurangnya setahun sesudah penandatanganan naskah tersebut.
Tentu
saja kesepakatan itu tidak cocok dengan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Itulah sebabnya, Bung Karno mendeklarasikan pada 17 Agustus 1950 bahwa
Indonesia adalah sebuah Negara Kesatuan, dan dengan demikian tidak terikat lagi
pada “Uni Indonesia-Belanda”. Dengan kata-kata lain, rumusan tentang Negara Federal
di dalam Persetujuan itu diakhiri (secara sepihak). Tindakan Bung Karno ini
menyisakan banyak hal (ketidakpuasan-ketidakpuasan) antara lain
diproklamasikannya “Republik Maluku Selatan” oleh Chr. Soumokil (mantan Menteri
Kehakiman NIT). Ini lalu meningkat menjadi konflik bersenjata, setelah missi Leimena
yang diutus ke Ambon gagal mencapai persetujuan.
Pada
pihak yang lain, tidak boleh dilupakan juga “Pemberontakan PKI” tahun 1948 di
Madiun yang telah mengorbankan sekian banyak anak bangsa. Antara lain Amir
Syarifudin, mantan Perdana Menteri menjadi korban dari konflik ini. Sampai
sekarang masih menjadi misteri sejarah apakah beliau yang adalah seorang Kristen
saleh benar-benar terpikat dengan komunisme, atau hanyalah sebagai pelampiasan
ketidakpuasan terhadap jalannya pemerintahan waktu itu.
Mereka
yang tidak setuju dengan “koreksi” terhadap Piagam Djakarta memproklamasikan “Negara
Islam Indonesia/Darul Islam” di Jawa Barat di bawah pimpinan Kartosuwiryo.
Proklamasi itu lalu didukung oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dengan
DI/TII nya. Di Aceh terjadi pemberontakan Daud Beureuh.
Sementara
itu terdapat juga berbagai gejolak tentara ex-KNIL. Di Jawa Barat ada APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil) dipimpin oleh Westerling. Konon, Westerling pulalah
yang melakukan pembantaian terhadap 40 ribu orang di Sulawesi Selatan. Lalu ada
juga pemberontakan Andi Azis. Dan seterusnya. Semua gejolak ini terpaksa
diselesaikan dengan kekerasan bersenjata, di mana negara mempergunakan
wewenangnya menekan anasir yang membahayakan kelangsungan hidup negara.
Gejolak-gejolak
yang berlangsung pada tahun-tahun 1950-an ini mengindikasikan bahwa Indonesia
memang sedang berusaha untuk mengokohkan identitasnya
sebagai Indonesia. Adakah Indonesia akan bertahan sebagai Indonesia, sebuah
bangsa yang berbhinekka tunggal ika dan bernegara kebangsaan? Ini pertanyaan
“abadi” yang setiap kali mesti diperbaharui.
Pada
tahun-tahun 1960-an kita pun menghadapi gejolak yang digerakkan oleh G30 S, dan
paskanya. Gerakan ini telah mengorbankan anak-anak bangsa (Pahlawan Revolusi),
tetapi sekaligus juga terjadi korban-korban massal yang sampai sekarang masih
didiskusikan apa persisnya yang terjadi di belakang peristiwa yang mengerikan
ini.
Saya
kira kita tetap akan berada dalam dinamika ini. Identitas kemajemukan kita yang
mestinya terterima (given) akan
berada dalam keterancaman dari upaya-upaya untuk menyeragamkan segala sesuatu.
Akhir-akhir ini kita juga mengalami berbagai aktivitas organisasi-organisasi
trans-nasional. Ada upaya untuk mendirikan Khalifah seturut model abad-abad
pertengahan, di mana batas-batas geografi negara bangsa akan dihilangkan. Kalau
ini sungguh-sungguh terjadi, maka negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus
1945 itu berada dalam ancaman untuk bubar. Maka harus dicegah sedini mungkin agar
kita tidak terjebak dalam konflik-konflik berkepanjangan tak ada ujung yang
tidak perlu.
III.
DKI
Jakarta Sebagai Miniatur Indonesia
DKI
Jakarta adalah miniatur Indonesia. Di sini kemajemukan sungguh-sungguh nyata.
Ada kemajemukan etnis, ras, agama, bahkan kepentingan. Di sini juga terdapat
kesenjangan-kesenjanagan: sosial, ekonomi, dan seterusnya. Tidak perlu heran,
sebab Jakarta adalah Ibu Kota Negara, di mana kepentingan-kepentingan bertemu.
Tentu saja kepentingan-kepentingan yang tidak selalu akur satu sama lain itu
harus dikelola sebaik-baiknya guna menghindarkan benturan-benturan yang tidak
perlu. Selama ini DKI Jakarta memang
berhasil dikelola oleh para pemimpinnya sehingga hampir tidak ada
bentrokan-bentrokan horizotal berarti, kecuali tawuran musiman yang terjadi di
sana sini dalam skala kecil. Kita memang masih tetap menyesalkan “Peristiwa
1998” yang sampai sekarang belum terang benar siapa aktor intelektual di
belakang semua ini.
Dalam
Pilkada ini tensi politik memang terkesan menaik. Untuk Pilkada putaran kedua
yang bakal berlangsung pada 19 April 2017 nanti tersisa dua pasangan calon
yaitu: Ahok/Djarot dan Anies/Sandi. Dalam iklim demokrasi, berbagai upaya
memenangkan pilkada seperti misalnya melalui kampanye-kampanye dilakukan.
Bahaya yang mengancam kemajemukan adalah dipergunakannya secara royal dan
murahan isu SARA guna mematahkan lawan. Misalnya saja ada spanduk yang
berisikan penolakan untuk dizalatkan bagi yang meninggal apabila memilih paslon
tertentu. Atau makin meningkatnya pemakaian istilah “kafir” terhadap mereka
yang dianggap berbeda. Ada kesan seolah-olah program paslon yang satu tidak
dijawab dengan mengemukakan program alternatip, tetapi dengan mengemukakan
SARA. Tentu saja ini tidak fair dan memperlihatkan ketidakdewasaan di dalam berdemokrasi.
Beberapa waktu lalu, Satpol PP telah menurunkan sekian banyak spanduk yang
bernuansa SARA. Suatu tindakan yang baik. Tetapi juga berbagai ucapan dan
ujaran pun yang terkesan menimbulkan persoala SARA harus dicegah. Jangan hanya
karena Pilkada, masyarakat Jakarta terpecah-belah. Akibatnya bisa fatal, tidak
hanya bagi Jakarta tetapi untuk seluruh Indonesia.
Kita
mendapat kesan bahwa minat untuk mengikuti proses Pilkada di Jakarta luar-biasa
berasal dari daerah-daerah. Ini bukti bahwa Ibu Kota memang merupakan barometer
bagi berbagai akta politik yang dilakukan di negeri ini.
Saya
tentu saja tidak bermaksud menyebut siapa yang layak menjadi Gubernur DKI
nanti. Ini sangat tergantung pada tingkat kedewasaan para pemilih Jakarta
sendiri. Mampukah para pemilih Jakarta membebaskan diri dari jebakan-jebakan
primordialisme (suku, ras, etnis, agama) seraya hanya mengandalkan
pertimbangan-pertimbangan rasional dan masuk akal? Tentu itulah harapan kita
sehingga Jakarta tidak akan menyesal apabila memilih orang yang salah. Menurut
saya, Jakarta membutuhkan pemimpin yang selalu mengandalkan transparansi, yang anti-korupsi,
tegas, berwibawa dan visioner. Seorang pemimpin yang cenderung menerapkan
prinsip “business as usual” tidak terlalu diharapkan di sini. Sebaliknya,
seorang pemimpin, kalau perlu bertindak “out of the box”.
IV.
Lalu
Apa?
Sudah
pasti kita menginginkan masyarakat majemuk kita diperlihara, dirawat dan dijaga
dengan baik. Dialektika (interplay) antara “kemajemukan” (bhinneka) dan “kesatuan” (tunggal)
harus nampak dalam setiap kinerja, aturam-aturan dan perundang-undangan.
Sebagai
demikian, civil society (masyarakat
berkeadaban) harus terus-menerus diperkuat dan diperkembangkan. Tanpa civil society yang kuat, rasanya sulit
kita melangkah maju. Hal memperkuat civil
society itu harus dimulai dari lembaga-lembaga pendidikan pada segla aras
(PAUD, TK, SD, SMU dan Universitas). Bahkan harus dimulai dari dalam rumah
tangga, yaitu menanamkan kepada sang anak bahwa tetangga yang berbeda itu
bukanlah musuh. Secara positif ditanamkan pengertian bahwa hidup dalam dunia
yang di dalamnya masyarakatnya majemuk tidak perlu ditakuti, sebaliknya kita
bersyukur sebab dengan demikian kita diperkaya dengan berbagai cara hidup dan
cara tindak.
Tentang
NKRI Ini juga harus ditafsirkan secara dinamis dan dihidupi secara manusiawi.
Tidak statis dan kaku, apalagi cenderung mendehumanisasi manusia. Mama Yosefa
dari Tanah Papua menegaskan bahwa bagi mereka NKRI bukan “harga mati”. Mereka
lebih mementingkan “harga hidup”, yaitu nyawa manusia yang telah banyak hilang
karena NKRI ini. Barangkali memang perlu diperhatikan jeritan hati Mama Yosefa
yang “mewakili” masyarakat Papua pada umumnya. Kendati NKRI adalah cita-cita
Proklamasi kita, tetapi ia tidak mempunyai tujuan di dalam dirinya. NKRI bukan
berhala. NKRI adalah wadah yang di dalamnya keadilan dan kesejahteraan bagi
semua orang diwujudkan. Di dalam NKRI cita-cita kemerdekaan sebagaimana
dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945 diwujudnyatakan. Dengan sedikit
memvariasikan sabda Yesus: “NKRI diciptakan untuk manusia, bukan manusia
untukNKRI.”
______________
*) Disampaikan Andreas A. Yewangoe Dalam
Diskusi Tentang Kebangsaan di UKI, 5 April 2017.
**) Mantan Ketua Umum
PGI (2004-2014), Ketua Majelis Pertimbangan PGI (2014-2019), Senior Fellow
Institut Leimena.
Jakarta, 5 April 2017
Related Posts:
UKI SELENGGARAKAN SEMINAR KEBANGSAAN: MERAWAT KEMAJEMUKAN DALAM BINGKAI NKRI
KAIROSPOS.COM, JAKARTA- Gesekan antar pasangan calon di Plkada DKI Jakarta 2017 mengarah pada SARA(Suku, Agama, Ras,Antar Golongan) gesekan semakan memanas ketika banyak spanduk bermunculan berdekatan tempat ibadah kondisi ini dapat membahayakan keharmonisan dalam merajut nilai-nilai keberagaman di Indonesia.
, ada indikasi pihak Tim Sukses yang memanfaatkan isu agama etnis hingga ke ranah tempat ibadah yang dapat membahayakan keutuhan NKRI. Tempat ibadah yang seharusnya sakral bebas dari carut marut dan kebisingan politik banyak dipakai sebagai tempat kampanye dan provokatif. Banyak pihak yang peduli situasi ini salah satunya adalah Universitas Kristen Indonesia.
Unit Pelayanan Konseling dan Kerohanian Universitas Kristen Indonesia (UKI) menyelenggarakan seminar kebangsaan bertema: Merawat Kemajemukan Dalam Bingkai NKRI.” Seminar yang dihadiri lebih dari lima ratus orang dilangsungkan di Grha William Soeryadjaya, Kampus UKI, Cawang, Jakarta Timur, Rabu (5/4/2017).
Ketua Panitia acara Seminar Kebangsaan Pendeta Dr Djoys Anneke Rantung M Th, mengatakan
"Ada kelompok radikalisme yang tidak memperdulikan kepentingan orang lain, yang membawa kita di gerbang perpecahan," kata Dr Djoys. Kemajemukan Indonesia kerap dijadikan sebagai model kesatuan dan kerukunan diantara masyarakat yang saling hidup bersama di dalam perbedaan. Namun disayangkan, penghargaan kebhinekaan dari mancanegara seolah tercabik-cabik oleh kelompok tertentu dan mengabaikan pihak lain tuturnya.
Seminar ini menghadirkan pembicara lintas agama antara lain Romo Benny Susetyo dan Pdt Dr Andreas Yewangoe. Dua pembicara lainnya, Yenny Zanuba Wahid dan Dr Refly Harun yang sudah dijadwalkan hadir, sayangnya berhalangan hadir. Meski demikian tidak mengurangi semaraknya berlangsung seminar.
Tampil pemakalah pertama, Romo Benny Susetyo langsung memaparkan pandangannya tentang bagaimana merawat kemajemukan masyarakat Indonesia. Menurutnya salah satu contoh yang nyata dalam merawat kemajemukan adalah seperti apa yang dilakukan alm Romo Mangun di Yogyakarta.
“Saya kira apa yang dilakukan Romo Mangun di Yogyakarta adalah contoh nyata bagaimana masyarakat majemuk itu berjalan harmonis. Persoalan kebangsaan akan selesai jika banyak melakukan apa yang ditunjukkan Romo Mangun, baik dalam karya dan hubungan dengan masyarakat,” paparnya.
Sementara Pdt Dr Andreas Yewangoe yang hadir mewakili Institut Leimena menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan dan itu sudah final. Mantan Ketua Umum PGI dua periode ini meminta semua pihak agar berada di koridor itu.
“Indonesia dibentuk founding father sebagai negara kebangsaan bukan negara agama. Saya mengamati tidak satu pun negara yang menyatakan sebagai negara agama lebih maju dari negara kebangsaan,” tukas Yewangoe.
Kata Yewangoe, Philipina yang Katolik juga tidak lepas dari korupsi. Tidak satu pun negara agama di dunia yang bebas dari korupsi.
“Saya mengamati negara-negara seperti Philipina ataupun Papua Newgini yang menegaskan Kristen di konstitusinya, negaranya tidak bebas dari korupsi. Di sana juga banyak korupsi seperti kita lihat,” bebernya.
Kemajemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari pelbagai suku, agama, dan budaya merupakan aset bangsa yang dikenal hingga ke mancanegara. Di tengah keadaan yang penuh keragaman tersebut, sistem demokrasi hidup dan mewadahi aspirasi setiap warga Negaranya. Namun dalam praktiknya, seringkali muncul gesekan yang mengatasnamakan agama. “Seminar ini merupakan salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis,” tulis penyelenggara di dalan siaran persnya.
Seminar dipandu tuan rumah, peneliti sekaligus dosen Fisipol UKI Dr. Sidratahta Mukhtar bertindak sebagai moderator. Selain mahasiswa UKI hadir juga peserta dari berbagai kampus dan warga umum. Pada akhir acara, Rektor Dr Maruarar Siahaan memberikan cenderamata kepada kedua pembicara dan moderator.
, ada indikasi pihak Tim Sukses yang memanfaatkan isu agama etnis hingga ke ranah tempat ibadah yang dapat membahayakan keutuhan NKRI. Tempat ibadah yang seharusnya sakral bebas dari carut marut dan kebisingan politik banyak dipakai sebagai tempat kampanye dan provokatif. Banyak pihak yang peduli situasi ini salah satunya adalah Universitas Kristen Indonesia.
Unit Pelayanan Konseling dan Kerohanian Universitas Kristen Indonesia (UKI) menyelenggarakan seminar kebangsaan bertema: Merawat Kemajemukan Dalam Bingkai NKRI.” Seminar yang dihadiri lebih dari lima ratus orang dilangsungkan di Grha William Soeryadjaya, Kampus UKI, Cawang, Jakarta Timur, Rabu (5/4/2017).
Ketua Panitia acara Seminar Kebangsaan Pendeta Dr Djoys Anneke Rantung M Th, mengatakan
"Ada kelompok radikalisme yang tidak memperdulikan kepentingan orang lain, yang membawa kita di gerbang perpecahan," kata Dr Djoys. Kemajemukan Indonesia kerap dijadikan sebagai model kesatuan dan kerukunan diantara masyarakat yang saling hidup bersama di dalam perbedaan. Namun disayangkan, penghargaan kebhinekaan dari mancanegara seolah tercabik-cabik oleh kelompok tertentu dan mengabaikan pihak lain tuturnya.
Seminar ini menghadirkan pembicara lintas agama antara lain Romo Benny Susetyo dan Pdt Dr Andreas Yewangoe. Dua pembicara lainnya, Yenny Zanuba Wahid dan Dr Refly Harun yang sudah dijadwalkan hadir, sayangnya berhalangan hadir. Meski demikian tidak mengurangi semaraknya berlangsung seminar.
Tampil pemakalah pertama, Romo Benny Susetyo langsung memaparkan pandangannya tentang bagaimana merawat kemajemukan masyarakat Indonesia. Menurutnya salah satu contoh yang nyata dalam merawat kemajemukan adalah seperti apa yang dilakukan alm Romo Mangun di Yogyakarta.
“Saya kira apa yang dilakukan Romo Mangun di Yogyakarta adalah contoh nyata bagaimana masyarakat majemuk itu berjalan harmonis. Persoalan kebangsaan akan selesai jika banyak melakukan apa yang ditunjukkan Romo Mangun, baik dalam karya dan hubungan dengan masyarakat,” paparnya.
Sementara Pdt Dr Andreas Yewangoe yang hadir mewakili Institut Leimena menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan dan itu sudah final. Mantan Ketua Umum PGI dua periode ini meminta semua pihak agar berada di koridor itu.
“Indonesia dibentuk founding father sebagai negara kebangsaan bukan negara agama. Saya mengamati tidak satu pun negara yang menyatakan sebagai negara agama lebih maju dari negara kebangsaan,” tukas Yewangoe.
Kata Yewangoe, Philipina yang Katolik juga tidak lepas dari korupsi. Tidak satu pun negara agama di dunia yang bebas dari korupsi.
“Saya mengamati negara-negara seperti Philipina ataupun Papua Newgini yang menegaskan Kristen di konstitusinya, negaranya tidak bebas dari korupsi. Di sana juga banyak korupsi seperti kita lihat,” bebernya.
Kemajemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari pelbagai suku, agama, dan budaya merupakan aset bangsa yang dikenal hingga ke mancanegara. Di tengah keadaan yang penuh keragaman tersebut, sistem demokrasi hidup dan mewadahi aspirasi setiap warga Negaranya. Namun dalam praktiknya, seringkali muncul gesekan yang mengatasnamakan agama. “Seminar ini merupakan salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis,” tulis penyelenggara di dalan siaran persnya.
Seminar dipandu tuan rumah, peneliti sekaligus dosen Fisipol UKI Dr. Sidratahta Mukhtar bertindak sebagai moderator. Selain mahasiswa UKI hadir juga peserta dari berbagai kampus dan warga umum. Pada akhir acara, Rektor Dr Maruarar Siahaan memberikan cenderamata kepada kedua pembicara dan moderator.
Related Posts:
Subscribe to:
Posts (Atom)