I.
Tentang
Kemajemukan
Tentang
kemajemukan, sebagaimana dikatakan berkali-kali pada berbagai kesempatan adalah
sesuatu yang terterima (given) bagi
negeri kita. Apabila kita berbicara tentang “persatuan” dan “kesatuan”, maka “kemajemukan”
harus diakui dan diterima. Itulah yang ada dalam benak para pendiri bangsa ini.
Mereka juga sangat visioner sehingga menciptakan semboyan (yang diambil dari
Mpu Tantular): “Bhinneka Tunggal Ika”,
Berbeda-beda tetapi satu.
Indonesia
sebagai satu bangsa adalah novum di
atas panggung sejarah dunia. “Sumpah Pemuda” 1928 menegaskan itu. “Proklamasi
Kemerdekaan” 1945 makin menggarisbawahi bahwa yang memproklamasikan kemerdekaan
adalah BANGSA Indonesia. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 diucapkan penuh nuansa
kebangsaan. Itulah sebabnya Bung Karno mendahulukan Kebangsaan (Peri
Kebangsaan) di dalam pidatonya itu. Bung Karno bertanya: “Apakah bangsa?” Dengan
mengutip beberapa ahli, Bung Karno menjawab, bangsa adalah mereka yang bertekad
untuk bersatu. Bangsa adalah mereka yang mempunyai nasib yang sama. Nasib yang
sama itu adalah penderitaan yang dialami bersama karena kolonialisme dan
imperialisme bangsa-bangsa asing (Belanda, Inggris, Jepang). Maka ketika kita
memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu, kita bukan hanya sekadar memproklamirkan
kemerdekaan kita, melainkan juga mendeklarasikan bahwa kita adalah SATU BANGSA,
dan bahwa bangsa itu sekarang sudah ada di atas pentas sejarah dunia:
Indonesia. Bangsa ini setara dengan bangsa-bangsa beradab lainnya di dunia ini.
II.
Tidak
Selalu Bertindah-tepat
Tetapi
“memproklamasikan” tidak selalu bertindih-tepat dengan “kenyataan”. Das Sollen tidak identik dengan Das Sein. Hal satu bangsanya kita tidak
sekali jadi. Instan. Ada pergumulan. Ada pasang-surut, ada jatuh-bangunnya.
Sebagaimana
sejarah memperlihatkan di dalam Badan
Penyelidik Upaya Kemerdekaan Indonesia, setidak-tidaknya ada dua “aliran”
besar yang mempunyai ide tentang Indonesia yang terbentuk nanti. Untuk
mudahnya, sebut saja “Aliran Islam” dan “Aliran Kebangsaan”. Aliran Islam
menghendaki negara Indonesia sebagai sebuah negara Islam atas dasar Al Qur’an
dan Hadits. Pada pihak lain, golongan kebangsaan menghendaki terbentuknya “Negara
Kebangsaan”, di mana tidak ada satu agama pun dijadikan dasar bernegara. Bung
Karno mengusulkan “Pancasila” dalam pidato 1 Juni 1945 tersebut. “Panitia
Sembilan” memodifikasi pidato 1 Juni 1945 tersebut yang kemudian dikenal
sebagai “Piagam Djakarta”. Dalam Piagam itu tercantum kata-kata, “...Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya.”
(22 Juni 1945). Rumusan itu kemudian
diubah lagi pada 18 Agustus 1945 setelah adanya protes dari para tokoh
Indonesia Timur. Rumusan itu ditengarai bersifat diskriminatip terhadap
non-muslim. Pada pendiri bangsa, demi kesatuan dan persatuan dan dengan visi
yang jelas kemudian mengubah rumusan itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
sebagaimana kita temui sekarang didalam Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya semua
rumusan yang terkesan diskriminatip dihapuskan dari draft UUD 1945, misalnya “Presiden
Republik Indonesia harus beragama Islam”.
Proklamasi
17 Agustus 1945, dengan demikian menegaskan, negara yang diproklamasikan itu adalah Negara
Kebangsaan atas dasar Pancasila. Negara itu adalah “Negara Kesatuan Republik
Indonesia” (NKRI).
Tetapi
fakta di lapangan lain sekali. Van Mook, Penguasa Kolonial Belanda tetap
mendorong dibentuknya negara-negara bahagian, sehingga dibayangkan Indonesia
akan berbentuk negara federasi. Ada Negara Pasundan, Negara Madura, Negara
Indonesia Timur (NIT), dan seterusnya. Belanda tidak mengakui Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal tidak diakuinya proklamasi itu berpuncak pada
agresi militer sebanyak 2 kali ke ibukota RI waktu itu, Yogyakarta. Belanda
menyebutnya “Aksi Polisi” (Politieonele
Actie) sebab beranggapan bahwa mereka masih berhadapan dengan persoalan di
dalam negerinya sendiri, sedangkan kita menyebutnya “Agresi Militer” (Militairre Agressie). Yang diserang adalah
sebuah negara berdaulat.
Atas
dorongan dan tekanan internasional (PBB) dan didukung pula oleh aksi-aksi
militer/perang gerilya di dalam negeri, pada akhirnya diselenggarakan “Konferensi
Meja Bundar” (KMB) yang diikuti oleh: Republik Indonesia, BFO (Bijeenkomst Federale Overleg/Badan
Musyawarah Federal). Konferensi yang tidak mudah itu berakhir dengan “Penyerahan
Kedaulatan”, (Souvereiniteit Overdraag,
versi Belanda), sedangkan kita memahaminya sebagai “Pengakuan Kedaulatan” (Souvereiniteit Erkenning) pada 27
Desember 1949. Jadi di mata Belanda kita baru merdeka pada tahun 1949.
Berdasarkan
persetujuan itu, Indonesia menjadi negara federal (Republik Indonesia
Serikat/RIS). Lalu dibentuk pula “Uni Indonesia-Belanda” di mana Ratu Belanda
menjadi Ketua sedangkan Presiden RIS menjadi Wakil Ketua. Selanjutnya Irian
Barat tidak termasuk pada kesepakatan ini, dan masih akan dibicarakan
sekurang-kurangnya setahun sesudah penandatanganan naskah tersebut.
Tentu
saja kesepakatan itu tidak cocok dengan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Itulah sebabnya, Bung Karno mendeklarasikan pada 17 Agustus 1950 bahwa
Indonesia adalah sebuah Negara Kesatuan, dan dengan demikian tidak terikat lagi
pada “Uni Indonesia-Belanda”. Dengan kata-kata lain, rumusan tentang Negara Federal
di dalam Persetujuan itu diakhiri (secara sepihak). Tindakan Bung Karno ini
menyisakan banyak hal (ketidakpuasan-ketidakpuasan) antara lain
diproklamasikannya “Republik Maluku Selatan” oleh Chr. Soumokil (mantan Menteri
Kehakiman NIT). Ini lalu meningkat menjadi konflik bersenjata, setelah missi Leimena
yang diutus ke Ambon gagal mencapai persetujuan.
Pada
pihak yang lain, tidak boleh dilupakan juga “Pemberontakan PKI” tahun 1948 di
Madiun yang telah mengorbankan sekian banyak anak bangsa. Antara lain Amir
Syarifudin, mantan Perdana Menteri menjadi korban dari konflik ini. Sampai
sekarang masih menjadi misteri sejarah apakah beliau yang adalah seorang Kristen
saleh benar-benar terpikat dengan komunisme, atau hanyalah sebagai pelampiasan
ketidakpuasan terhadap jalannya pemerintahan waktu itu.
Mereka
yang tidak setuju dengan “koreksi” terhadap Piagam Djakarta memproklamasikan “Negara
Islam Indonesia/Darul Islam” di Jawa Barat di bawah pimpinan Kartosuwiryo.
Proklamasi itu lalu didukung oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dengan
DI/TII nya. Di Aceh terjadi pemberontakan Daud Beureuh.
Sementara
itu terdapat juga berbagai gejolak tentara ex-KNIL. Di Jawa Barat ada APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil) dipimpin oleh Westerling. Konon, Westerling pulalah
yang melakukan pembantaian terhadap 40 ribu orang di Sulawesi Selatan. Lalu ada
juga pemberontakan Andi Azis. Dan seterusnya. Semua gejolak ini terpaksa
diselesaikan dengan kekerasan bersenjata, di mana negara mempergunakan
wewenangnya menekan anasir yang membahayakan kelangsungan hidup negara.
Gejolak-gejolak
yang berlangsung pada tahun-tahun 1950-an ini mengindikasikan bahwa Indonesia
memang sedang berusaha untuk mengokohkan identitasnya
sebagai Indonesia. Adakah Indonesia akan bertahan sebagai Indonesia, sebuah
bangsa yang berbhinekka tunggal ika dan bernegara kebangsaan? Ini pertanyaan
“abadi” yang setiap kali mesti diperbaharui.
Pada
tahun-tahun 1960-an kita pun menghadapi gejolak yang digerakkan oleh G30 S, dan
paskanya. Gerakan ini telah mengorbankan anak-anak bangsa (Pahlawan Revolusi),
tetapi sekaligus juga terjadi korban-korban massal yang sampai sekarang masih
didiskusikan apa persisnya yang terjadi di belakang peristiwa yang mengerikan
ini.
Saya
kira kita tetap akan berada dalam dinamika ini. Identitas kemajemukan kita yang
mestinya terterima (given) akan
berada dalam keterancaman dari upaya-upaya untuk menyeragamkan segala sesuatu.
Akhir-akhir ini kita juga mengalami berbagai aktivitas organisasi-organisasi
trans-nasional. Ada upaya untuk mendirikan Khalifah seturut model abad-abad
pertengahan, di mana batas-batas geografi negara bangsa akan dihilangkan. Kalau
ini sungguh-sungguh terjadi, maka negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus
1945 itu berada dalam ancaman untuk bubar. Maka harus dicegah sedini mungkin agar
kita tidak terjebak dalam konflik-konflik berkepanjangan tak ada ujung yang
tidak perlu.
III.
DKI
Jakarta Sebagai Miniatur Indonesia
DKI
Jakarta adalah miniatur Indonesia. Di sini kemajemukan sungguh-sungguh nyata.
Ada kemajemukan etnis, ras, agama, bahkan kepentingan. Di sini juga terdapat
kesenjangan-kesenjanagan: sosial, ekonomi, dan seterusnya. Tidak perlu heran,
sebab Jakarta adalah Ibu Kota Negara, di mana kepentingan-kepentingan bertemu.
Tentu saja kepentingan-kepentingan yang tidak selalu akur satu sama lain itu
harus dikelola sebaik-baiknya guna menghindarkan benturan-benturan yang tidak
perlu. Selama ini DKI Jakarta memang
berhasil dikelola oleh para pemimpinnya sehingga hampir tidak ada
bentrokan-bentrokan horizotal berarti, kecuali tawuran musiman yang terjadi di
sana sini dalam skala kecil. Kita memang masih tetap menyesalkan “Peristiwa
1998” yang sampai sekarang belum terang benar siapa aktor intelektual di
belakang semua ini.
Dalam
Pilkada ini tensi politik memang terkesan menaik. Untuk Pilkada putaran kedua
yang bakal berlangsung pada 19 April 2017 nanti tersisa dua pasangan calon
yaitu: Ahok/Djarot dan Anies/Sandi. Dalam iklim demokrasi, berbagai upaya
memenangkan pilkada seperti misalnya melalui kampanye-kampanye dilakukan.
Bahaya yang mengancam kemajemukan adalah dipergunakannya secara royal dan
murahan isu SARA guna mematahkan lawan. Misalnya saja ada spanduk yang
berisikan penolakan untuk dizalatkan bagi yang meninggal apabila memilih paslon
tertentu. Atau makin meningkatnya pemakaian istilah “kafir” terhadap mereka
yang dianggap berbeda. Ada kesan seolah-olah program paslon yang satu tidak
dijawab dengan mengemukakan program alternatip, tetapi dengan mengemukakan
SARA. Tentu saja ini tidak fair dan memperlihatkan ketidakdewasaan di dalam berdemokrasi.
Beberapa waktu lalu, Satpol PP telah menurunkan sekian banyak spanduk yang
bernuansa SARA. Suatu tindakan yang baik. Tetapi juga berbagai ucapan dan
ujaran pun yang terkesan menimbulkan persoala SARA harus dicegah. Jangan hanya
karena Pilkada, masyarakat Jakarta terpecah-belah. Akibatnya bisa fatal, tidak
hanya bagi Jakarta tetapi untuk seluruh Indonesia.
Kita
mendapat kesan bahwa minat untuk mengikuti proses Pilkada di Jakarta luar-biasa
berasal dari daerah-daerah. Ini bukti bahwa Ibu Kota memang merupakan barometer
bagi berbagai akta politik yang dilakukan di negeri ini.
Saya
tentu saja tidak bermaksud menyebut siapa yang layak menjadi Gubernur DKI
nanti. Ini sangat tergantung pada tingkat kedewasaan para pemilih Jakarta
sendiri. Mampukah para pemilih Jakarta membebaskan diri dari jebakan-jebakan
primordialisme (suku, ras, etnis, agama) seraya hanya mengandalkan
pertimbangan-pertimbangan rasional dan masuk akal? Tentu itulah harapan kita
sehingga Jakarta tidak akan menyesal apabila memilih orang yang salah. Menurut
saya, Jakarta membutuhkan pemimpin yang selalu mengandalkan transparansi, yang anti-korupsi,
tegas, berwibawa dan visioner. Seorang pemimpin yang cenderung menerapkan
prinsip “business as usual” tidak terlalu diharapkan di sini. Sebaliknya,
seorang pemimpin, kalau perlu bertindak “out of the box”.
IV.
Lalu
Apa?
Sudah
pasti kita menginginkan masyarakat majemuk kita diperlihara, dirawat dan dijaga
dengan baik. Dialektika (interplay) antara “kemajemukan” (bhinneka) dan “kesatuan” (tunggal)
harus nampak dalam setiap kinerja, aturam-aturan dan perundang-undangan.
Sebagai
demikian, civil society (masyarakat
berkeadaban) harus terus-menerus diperkuat dan diperkembangkan. Tanpa civil society yang kuat, rasanya sulit
kita melangkah maju. Hal memperkuat civil
society itu harus dimulai dari lembaga-lembaga pendidikan pada segla aras
(PAUD, TK, SD, SMU dan Universitas). Bahkan harus dimulai dari dalam rumah
tangga, yaitu menanamkan kepada sang anak bahwa tetangga yang berbeda itu
bukanlah musuh. Secara positif ditanamkan pengertian bahwa hidup dalam dunia
yang di dalamnya masyarakatnya majemuk tidak perlu ditakuti, sebaliknya kita
bersyukur sebab dengan demikian kita diperkaya dengan berbagai cara hidup dan
cara tindak.
Tentang
NKRI Ini juga harus ditafsirkan secara dinamis dan dihidupi secara manusiawi.
Tidak statis dan kaku, apalagi cenderung mendehumanisasi manusia. Mama Yosefa
dari Tanah Papua menegaskan bahwa bagi mereka NKRI bukan “harga mati”. Mereka
lebih mementingkan “harga hidup”, yaitu nyawa manusia yang telah banyak hilang
karena NKRI ini. Barangkali memang perlu diperhatikan jeritan hati Mama Yosefa
yang “mewakili” masyarakat Papua pada umumnya. Kendati NKRI adalah cita-cita
Proklamasi kita, tetapi ia tidak mempunyai tujuan di dalam dirinya. NKRI bukan
berhala. NKRI adalah wadah yang di dalamnya keadilan dan kesejahteraan bagi
semua orang diwujudkan. Di dalam NKRI cita-cita kemerdekaan sebagaimana
dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945 diwujudnyatakan. Dengan sedikit
memvariasikan sabda Yesus: “NKRI diciptakan untuk manusia, bukan manusia
untukNKRI.”
______________
*) Disampaikan Andreas A. Yewangoe Dalam
Diskusi Tentang Kebangsaan di UKI, 5 April 2017.
**) Mantan Ketua Umum
PGI (2004-2014), Ketua Majelis Pertimbangan PGI (2014-2019), Senior Fellow
Institut Leimena.
Jakarta, 5 April 2017
0 Response to " MERAWAT KEMAJEMUKAN DALAM NKRI"
Post a Comment