KAIROSPOS.COM, JAKARTA - Keterlibatan gereja, khususnya pimpinan gereja dalam politik telah menjadi topik yang "seksi" dan tak habis-habisnya dibahas.
Bolehkah pimpinan gereja terjun dalam dunia politik? Sejauh
mana pimpinan gereja bisa terlibat dalam politik? Tentu jawabannya
beragam. Tidak ada satu jawaban yang sama untuk pertanyaan ini.
APA ITU POLITIK?
Menarik untuk diketahui bahwa sebenarnya teori klasik
tentang politik memiliki kesamaan dengan perintah Alkitab. Tujuannya
sama, untuk membangun bangsa supaya sejahtera.
Filsuf Yunani kuno Plato dan Aristoteles pada abad ke 5
sebelum Masehi mengatakan *"politik itu adalah suatu usaha untuk
mencapai masyarakat (polis, kota) yang terbaik".*
Jadi Plato dan Aristoteles menyadari bahwa politik adalah
alat atau cara yang dipakai untuk menciptakan kondisi masyarakat yang
terbaik. Kondisi terbaik dimana tercapai kesejahteraan yang maksimal,
kebebasan mengekspresikan hak-hak individu dalam tatanan moral
masyarakat yang tertib dan beradab.
Dalam Alkitab, Tuhan memberi perintah kepada umat Israel
yang saat itu dibuang ke Babel untuk mengusahakan kesejahteraan kota
dimana mereka berada.
Yeremia 29: 11 "Usahakanlah kesejahteraan kota kemana
kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab
kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu".
Perintah Tuhan jelas, usahakanlah kesejahteraan kota,
_polis_. Kota tempat orang Israel dibuang pun harus diusahakan
kesejahteraannya. Padahal mereka tidak akan tinggal selamanya di kota
itu. Apalagi kota sendiri. Tentu upaya ekstra harus dilakukan untuk
membuat kota, _polis_ , tempat kita tinggal sejahtera.
Peter Merkl, ahli ilmu politik Jerman, memberikan teorinya
tentang politik. _"Politics, at its best is a noble quest for a good
order and justice"_. Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha
mulia untuk mencapai tatanan yang baik dan berkeadilan.
Jadi baik Plato dan Aristoteles, nabi Yeremia dan Peter
Merkl berbicara tentang politik untuk mengusahakan kesejahteraan. _Noble
politics,_ politik mulia. *Politik luhur* untuk tujuan kesejahteraan
rakyat.
POLITIK LUHUR VS POLITIK KEKUASAAN
Dipihak lain, Peter Merkl mengingatkan tentang sisi
terburuk politik. _Politics as its worst is a selfish grab for power,
glory and riches._Politik dalam bentuk yang paling buruk adalah
perebutan kekuasaan, kedudukan/ketenaran dan kekayaan untuk kepentingan
pribadi. Politik dipakai sebagai alat pencapaian ambisi pribadi untuk
mendapatkan kuasa, tahta dan harta.
Inilah politik kekuasaan. Di tataran ini kepentingan
pribadi dan golongan yang diutamakan. Politik dijadikan alat untuk
mencapai kepentingan. Siapa mendapatkan apa dan berapa. Politik
kepentingan yang transaksional.
Ketika politik luhur untuk kesejahteraan rakyat
terdegradasi menjadi politik kekuasaan yang transaksional, wejangan
Lord Acton menjadi relevan. _"Power tends to Corupt. Absolute power
corrupts absolutely"_. Kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan mutlak
menghasilkan korup yang mutlak.
Pemimpin gereja perlu membentengi dirinya dan warga gereja
agar tidak terkontaminasi dengan politik kekuasaan yang korup dan
merusak itu. Politik kekuasaan yang korup akan melahirkan
politisi-politisi yang berorientasi kepentingan. Politisi yang hanya
fokus pada mengejar kekuasaan. Siapa yang akan berkuasa dan memenangi
pemilihan umum berikutnya.
PEMIMPIN GEREJA BERGERAK DALAM LEVEL POLITIK LUHUR
Politik luhur dengan tujuan pembangunan kesejahteraan
bangsa akan melahirkan negarawan. Fokus utama negarawan adalah bagaimana
memberi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
banyak. Kepentingan Rakyat yang diutamakan. Bukan kepentingan pribadi
atau golongan. Bagi negarawan, urusan dan kepentingan pribadi sering tak
terpikirkan bahkan terabaikan. Kepentingan negara menjadi prioritas
utama.
Pemimpin gereja seharusnya berada dalam tataran politik
luhur. Menjadi pengayom, pembina sekaligus penggerak yang memobilisasi
warga gereja agar terlibat dalam berbagai upaya untuk mencapai
kesejahteraan bangsa. Sarana yang dipakai sebagai alat perjuangan untuk
kesejahteraan bangsa salah satunya lewat politik.
Pemimpin gereja tidak cukup hanya bergelut dengan
masalah-masalah teologis pembinaan umat untuk urusan surgawi. Kesadaran
dan pengetahuan politik perlu dimiliki sebagaimana memiliki pengetahuan
rohani. Warga gereja dilengkapi dan diberdayakan oleh pemimpin gereja
agar terampil ketika berkiprah di ranah politik.
MENJADI TERANG DAN GARAM DI BIDANG POLITIK
Menjadi tugas pemimpin gereja untuk membibing warga gereja
yang terpanggil di dunia politik agar menjalankan politik luhur dan
tidak terjebak pada politik kekuasaan yang transaksional.
Pemimpin gereja menyiapkan umat untuk menjadi terang dan
garam di dunia politik. Terang menerangi kegelapan. Garam mengawetkan
agar terhindar dari pembusukan.
Keterlibatan warga gereja dalam ranah politik hendaklah
dilihat sebagai bagian dari pelayanan rohani. Fungsi terang dan garam
harus menjadi landasan iman dan moral. Sehingga jika ada warga gereja
yang berkiprah di dunia politik, itu dilakukan untuk menerangi dan
menggarami balantika politik.
Peran terang dan garam di dunia politik dalam konteks
Indonesia terkini telah ditunjukkan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Ahok
bukan hanya bertindak sebagai negarawan, tapi juga telah menerangi dan
menggarami dunia politik.
Kiprah Ahok membuktikan politik bisa terang benderang.
Transparan. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Tidak terjadi proses
pembusukan di politik. Apalagi tercium bau busuk dengan aroma tidak
sedap yang menyengat. Karena didalamnya ada Ahok yang telah menjadi
cahaya yang menerangi dan garam yang menggarami dunia politik itu.
LALU, DAPATKAH PEMIMPIN GEREJA TERJUN DALAM DUNIA POLITIK?
Semakin banyak "garam dan terang" di dunia politik tentunya
semakin bagus. Gereja perlu menyiapkan kader-kader "Ahok" baru yang
bisa menjadi "Tjahaja" di dunia politik.
Gereja perlu makin terlibat di dunia politik sebagai
pembawa terang dan garam. Karena logikanya adalah, jika gereja sebagai
terang dan garam itu menarik diri dari dunia politik, bukankah arena
politik akan semakin gelap dan berbau busuk?
Pertanyaannya sekarang, dapatkah pemimpin gereja terlibat langsung di dunia politik?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Kalaupun dijawab, pasti
beragam jawabannya tergantung sinode gereja. Di Indonesia yang memiliki
132 Sinode yang memayungi kurang lebih lima puluh ribu gereja lokal,
menghasilkan pandangan beragam soal politik. Khususnya keterlibatan
pendeta sebagai pemimpin gereja dalam politik. Ada yang melarang. Ada
yang membolehkan dengan persyaratan tertentu. Tapi ada juga sinode yang
mendorong agar pendetanya aktif di politik.
Tidak ada salahnya pendeta sebagai pemimpin gereja terlibat
politik. Apalagi jika pendeta itu memiliki kapasitas dan integritas
yang kuat. Sebab kadang dalam situasi tertentu dunia politik membutuhkan
kehadiran pemimpin gereja.
Contoh klasik bagaimana pemimpin gereja terjun dalam
politik adalah Dr. Martin Luther King Jr. Sebagai Pendeta gereja Baptis
di Amerika, Dr. King terpanggil untuk menuntut dan menyuarakan persamaan
hak kaum kulit hitam di Amerika. Pidatonya yang terkenal _"I have a
dream"_menginspirasi jutaan orang dan membuat diskriminasi politik
terhadap kaum kulit hitam berubah.
Jadi kalau pemimpin gereja bisa membuat perbedaan signifikan di dunia politik, mengapa harus dilarang?
Yang harus dihindari adalah penggunaan simbol-simbol agama
untuk tujuan politik. Politisasi agama harusnya haram bagi pemimpin
gereja. Jika pendeta terpanggil melayani di dunia politik, tanpa memakai
simbol agama pun dia bisa berkiprah dan berpengaruh di gelanggang
politik.
Batasannya jelas, jika pemimpin gereja terpanggil terjun
langsung ke dunia politik, pendeta itu harus menjadi negarawan yang
menerangi dan menggarami politik. Mampu mengubah politik kekuasaan yang
transaksional dan sarat kepentingan menjadi politik luhur untuk
kesejahteraan rakyat semata.
Pertanyaannya adalah: apakah ada pendeta yang mau dan mampu terjun ke dunia politik dengan tuntutan mulia seperti itu?
29 Juni 2017
(Tulisan ini sebagai apresiasi untuk Ahok di hari ulang tahunnya. Ahok telah menjadi negarawan yang menerangi dan menggarami dunia politik)
(Tulisan ini sebagai apresiasi untuk Ahok di hari ulang tahunnya. Ahok telah menjadi negarawan yang menerangi dan menggarami dunia politik)
Penulis : Yerry Tawalujan
Tulisan yg bagus dan mengindpirasi. Gereja2 harus dan menyiapkan warganya untuk berkiprah di dunia politik, terutama menjadi seorang negarawan, memiliki integritas dan kejujuran. Refrensi kita juga bisa belajar dari Tuhan Yesus.
ReplyDelete