KAIROSPOS.COM, Jakarta - Rapat paripurna Komisi III DPR RI pada Rabu besok, 14 Februari
2018, akan membahas nasib revisi draft Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Disesalkan dalam draft RKUHP Banyak
peraturan yang akan membungkam kemerdekaan pers, demokrasi dan Hak Asasi
Manusia.
Berdasarkan telaah sejumlah pasal dalam draft revisi RUU KUHP
tersebut, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB)
berpendapat bahwa DPR RI dan pemerintah harus menunda pengesahannya.
KPJKB beralasan, beberapa pasal dalam RUU KUHP tersebut:
1. Mengancam kemerdekaan dan sikap kritis para jurnalis.
2. Jurnalis rawan dikriminalisasi.
3. Mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warga.
4. Dapat memberangus proses berdemokrasi.
5. Tidak melindungi rakyat, justru spiritnya hendak melindungi penguasa
6. Tak sejalan dengan spirit UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal-pasal dimaksud di antaranya:
1. Pasal 309 ayat (1) perihal “Berita Bohong”
2. Pasal 328 - 329 perihal contempt of court.
3. Pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia
4. Pasal 262 - 264 tentang Penghinaan terhadap Presiden dan
Wapres.
5. Pasal 284 dan 285 tentang penghinaan terhadap pemerintah.
Berdasarkan telaah atas pasal-pasal tersebut (URAIAN TELAAH,
terlampir) yang telah dilakukan KPJKB, kami menyatakan sikap:
1. Hentikan seluruh usaha untuk mengesahkan RKUHP yang masih
memuat banyak permasalahan
2. Meminta pemerintah untuk manarik RKUHP dan membahas ulang
dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, dengan pelibatan
bersama seluruh pihak, kelompok dan lembaga-lembaga terkait
3. RUU KUHP harus memihak dan melindungi rakyat, bukan
melindungi penguasa.
Makassar, 13 Februari 2018.
Ttd
Upi Asmaradhana
Koordinator Relawan KPJKB
Catatan:
KPJKB juga mengajak para pekerja dan pemerhati media serta aktivis gerakan HAM
untuk bersama menolak draft revisi RUU KUHP disahkan.
Lampiran
LAMPIRAN
URAIAN pasal yang kami anggap rawan memenjarakan jurnalis dan
orang-orang kritis sebagai berikut:
1. Pasal 309 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang
menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran
atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".
Penjelasan frasa "mengakibatkan keonaran" pada ayat
(1) tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan untuk mengkriminalisasi
jurnalis yang kesehariannya mencari berita.
Semisal jurnalis membuat berita berdasarkan informasi dari
narasumbernya. Namun, ketika berita tersebut sudah dipublikasikan dan ternyata
narasumber tidak akurat atau tidak betul memberi informasinya, maka jurnalislah
yang akan dianggap memberitakan kebohongan. Sehingga bisa jadi alasan
jurnalis tersebut dikriminalisasi.
2. Pasal 328-329 perihal contempt of court.
Pasal 329 huruf (d) berbunyi "Mempublikasikan atau
membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang
dapat mempengaruhi sifat tidak memihak Hakim dalam sidang
pengadilan."
Pasal ini bisa mengkriminalkan jurnalis yang meliput di
pengadilan. Sebab hakim atau pihak manapun bisa memperkarakan karya jurnalistik
dengan alasan mempengaruhi integritas hakim karena berita yang dipublikasikan
dianggap tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.
Apabila merujuk Pasal 328, maka jurnalis bisa dikenakan pidana 5
tahun penjara karena perbuatan tersebut.
3. Pasal 494 Tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia.
Pasal ini berbunyi “Setiap orang yang membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau profesinya baik rahasia yang sekarang maupun
yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana
denda paling banyak kategori III".
Maksud rahasia di sini masih multitafsir. Sedangkan jurnalis
dalam melakukan wawancara kerap mendapat informasi yang bersinggungan dengan
rahasia instansi atau pejabat tertentu, namun diungkapkan oleh narasumber
secara terbuka.
Jadi ketika jurnalis memublikasikan rahasia jabatan, yang saat
ini memang belum jelas apa itu rahasia jabatan yang berada di RKUHP, para
jurnalis bisa juga kena pasal ini.
4. Pasal 262 - 264 tentang Penghinaan terhadap Presiden dan
Wapres.
Pasal 262 RKUHP disebutkan, ”Setiap orang yang menyerang diri
Presiden dan Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang
lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”
Pasal 263 ayat 1 dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan setiap
orang yang dimuka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300
juta.
Dalam pasal 264 dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan setiap
orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar
sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar
oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi
penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi
penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp 300
juta).
Pasal penghinaan kepada presiden jelas sebuah kemunduran dan
membawa Indonesia kembali ke era orde baru.
Jika revisi RUU KUHP memuat kembali pasal penghinaan terhadap
kepala negara maka hal itu sama saja mematikan kebebasan berekspresi dan
berpendapat serta memberangus orang-orang kritis.
Mengkritik Presiden dan Wapres nantinya akan menjadi momok yang
sangat menakutkan.
Pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP akan mengekang rakyat
untuk menyatakan pendapat. Juga berpotensi menjadi alat bagi penguasa untuk
merepresi siapa pun yang menjadi lawan politiknya.
Pasal tersebut jelas ingin menempatkan Presiden dan Wapres pada
posisi antikritik. Tidak ada ruang untuk mengkritik. Siapa pun yang mengkritik
akan berhadapan dengan penjara. Sehingga pasal ini sangat berbahaya.
Mengapa? Sebab hingga saat ini tidak ada standar baku mengenai
hal-hal yang dianggap menghina Presiden dan Wapres. Sehingga berbagai macam
perbuatan selama dirasa bertentangan dengan kedudukan presiden dapat dianggap
sebagai penghinaan.
Padahal Pasal 262- 264 dalam draft revisi RUU KUHP yang telah
dibahas di DPR RI tersebut tidak jauh berbeda dengan Pasal 134, 136, dan 137
KUHP yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) RI pada 2006 silam.
Sebagai gambaran, Pasal 134 KUHP yang telah dibatalkan MK
berbunyi, ”Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 4.500.”
5. Pasal 284 dan 285 tentang penghinaan terhadap pemerintah.
Pasal 284 berbunyi: Setiap orang yang dimuka umum melakukan
penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran
dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama (3) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 285 berbunyi: Setiap orang yang menyiarkan,
mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh
umum, atau memperdengarkan rekaman, sehingga terdengar oleh umum, yang
berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi
penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.
Sama dengan pasal penghinaan Presiden dan Wapres, Pasal 284 dan
285 jelas menghalangi kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warga
negara.
Kedua pasal ini dapat membungkam jurnalis yang mengeritik
pemerintah melalui karya jurnalistiknya.
Padahal pada 2007 lalu, MK juga telaj membatalkan ketentuan
tentang penghinaan kepada pemerintah, yaitu Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155,
Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207, dan Pasal 208 KUHP.
Pasal-pasal pada KUHP ini serupa atau senafas dengan Pasal 284
dan 285 dalam draft revisi RUU KUHP.
Related Posts: