KAIROSPOS.COM, Jakarta - Bertempat di Aula Gereja
St. Matius Penginjil Bintaro, Komisi Hubungan Antar Agama dan Keyakinan (HAAK)
bekerja sama dengan komisi Justice and Peace Paroki, dan komisi kepemudaan
menghadirkan 3 orang pembicara untuk membahas tentang maraknya berita palsu,
hoax, dan juga fenomena cyber war. Hadir juga pada saat seminar tersebut
perwakilan dari Kelompok Banser NU dan juga pengurus FORMAG (Forum Musyawarah
Antar Gereja).
Acara tersebut
dilatarbelakangi dengan maraknya hoax di media sosial yang merupakan imbas dari
revolusi industri tahap keempat yang dikenal dengan eranya informasi. Tentu
saja, kita sudah akrab dengan jargon jargon yang mencoba melawan hadirnya
berita berita hoax sekarang ini. Saring dan sharing. Saringlah dahulu sebelum
anda mensharing atau membagikan informasi yang anda terima dan akan anda
bagikan.
Ketiga pembicara yang
dihadirkan adalah Alois Wisnuhardana yang merupakan staff juru bicara
kepresidenan RI yang juga jurnalis, Dr. Agus Budianto sebagai akademisi dan
juga pernah menjalani pengabdian Masyarakat di DPR, dan juga ibu Dra. Sri Suari
M.Si. dari humas mabes POLRI. Ketiganya berbicara tentang bahaya berita palsu
dan juga bahaya cyberwar dalam sudut pandangnya masing masing. Dari sisi
jurnalistik, Alois menguraikan tentang bagaimana Cyberwar terjadi dan berita
hoax diproduksi. Serta akibat yang sangat fatal dari cyberwar ini berkaitan
dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
“Jabatan saya sepertinya
keren, di kantor juru bicara kepresidenan. Tapi sebenarnya saya itu hanya
tukang setrika dan tukang cuci,” demikian Alois memberikan pengantar.
“Sebagai tukang setrika
saya meluruskan berita berita yang kusut dan tidak jelas, sebagai tukang cuci
saya mencuci berita agar bersih –jernih,red- dari kotoran kotoran berita yang
tidak benar seperti hoax..” dia menjelaskan.
Ada dua macam perang
yang dia sampaikan, pertama adalah perang kuasa untuk mengontrol (the battle of
controls) dan yang kedua adalah perang makna (the battle of meanings). Kedua
perang ini bisa terjadi dalam dunia komunikasi dan saat ini sedang marak.
Perang pemaknaan yang bersifat naratif dan juga perseptif sangat berpengaruh
pada emosi dan logika atau nalar seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam
dunia industri komunikasi dewasa ini, meskipun sebagai pola sebenarnya tidak
berbeda dengan perang perang yang sudah sudah, informasi dikontrol dan dibuat
sedemikian rupa sehingga fakta bukanlah sesuatu yang dicari, tapi kini fakta
diciptakan.
Hoax dan fake news bisa berbentuk macam macam
hal, mulai dari click bait, satire, mislead, propaganda, maupun out of context.
Semua itu menarik, karena hal hal yang sifatnya luar biasa tentu saja menarik
dan di sinilah factor hiburan itu masuk. Jadi berita dan informasi, sudah
meninggalkan faktanya, lalu menggelinding sendiri dengan pemaknaan yang sama
sekali berbeda bahkan bertentangan. Misalnya saja, judul berita provokatif
namun tidak sesuai dengan isinya. Itulah sebabnya, berita benar tidak
lebih dari 1000 orang yang
mensharing, sedangkan fake news (pemelintiran berita) ataupun berita ‘bohong’
bisa dishare jutaan orang.
Dalam konteks itu, Alois
kemudian menyampaikan bahwa segelintir orang, bahkan anak anak remaja tanggung
bisa mengubah dunia hanya dengan menciptakan berita hoax. Akibatnya tidak main
main, negara negara gagal seperti di Libya dan Suriah diawali dari berita
berita bohong yang sengaja diciptakan untuk menghancurkan negara tersebut.
Sementara itu, Dr. Agus
Budyanto sebagai akademisi lebih menyampaikan berita hoax ini dalam sudut
pandang hukum. Sebagai bangsa yang majemuk, dengan keragaman yang luar biasa,
semestinya hal tersebut menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Namun, kalau tidak
dipelihara dengan baik, kemajemukan semacam ini bisa hilang bahkan menjadi
rawan untuk dijadikan objek adu domba. Ujaran kebencian, pemelintiran berita,
maupun berita palsu selain untuk canda candaan, juga menjadi alat adu domba dan
juga alat untuk mencari keuntungan sendiri dan Kelompok.
Perbuatan yang
menyebarkan berita bohong/palsu, memelintir berita (fake news) dan juga ujaran
kebencian inilah yang sekarang sudah menjadi atau dikategorikan sebagai tindak
pidana. Pelakunya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku. Hal itu termuat dalam pasal 310-321 KUHP. Sanksi hukumnya berupa
pidana penjara maupun denda.
“Kalau dahulu dikatakan
mulutmu adalah harimaumu, sekarang jempolmu adalah harimaumu…” begitu Dr. Agus
mengutip ungkapan lama yang berlaku.
“Sekarang ini, bukan hanya
yang memproduksi ujaran kebencian yang akan diproses hukum, tapi juga yang
menyebarkannya..” Hal itu diatur dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi
dan transaksi elektronik, kemudian diubah dalam UU No. 16 Tahun 2013. Juga
mengacu pada Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015
tentang penanganan Ujaran Kebencian.
Dalam pesannya kepada
peserta yang hadir, dia menyampaikan agar masyarakat berhati hati dalam
mensharing sesuatu. Termasuk bila awalnya hanya bercanda dan lucu lucuan. Masyarakat
bisa menanggapinya secara berbeda dan bisa saja ada yang merasa dirugikan.
Kesalahan yang hanya beberapa detik dibuat, tanpa niat sekalipun, bisa
mengantarkan seseorang ke penjara.
Sementara ibu Dra. Sri Suari menyampaikan juga
fenomena hoax dari sudut pandang kepolisian. Menurutnya, dalam masyarakat
Indonesia umumnya, dengan data mencapai 80%, mereka sulit membedakan mana
berita mana hoax. Hal ini disebabkan karena rendahnya minat baca dan oleh
karena itu dibutuhkan adanya berita yang mengklarifikasi. Kepolisianpun masuk
dalam dua ranah tersebut. Hoax termasuk hal yang sulit diberantas karena
manusia menyenanginya. Dahulu, orang mencari fakta untuk menemukan kebenaran,
kini sebagian klangan justru menciptakan fakta untuk melegitimasi kebohongan.
Hal itu didorong oleh beberapa factor, di antaranya adalah bahwa berita-hoax
bisa saja justru menjadi peneguh keyakinan, munculnya disfungsi nalar, dan
dorongan aksi untuk menyebarkan sesuatu yang menarik ini meskipun tidak benar
“salah satu cara yang harus
kita buat adalah, di dalam keyakinan kita (yang sifatnya manusiawi) sisakanlah
ruang keraguan untuk bertanya, karena kebenaran mutlak itu hanya milik Gusti
Allah.”
Berdasarkan paparannya,
masyarakat terbagi dalam 3 kelompok: haters (kalangan yang tidak suka), silent
majority, dan juga supporters. Adanya haters, dalam politik demokrasi, sampai
kapanpun tidak bisa dihilangkan karena adanya Kelompok oposisi. Dia mengatakan,
“mitigasi yang perlu dilakukan adalah untuk menjaga agar Kelompok silent
majority menjadi immune terhadap hoax dan lapisan Kelompok haters dan
supporters menjadi berkurang.”
Sayangnya termasuk
supporters ataupun haters ini malah kadang kadang dari kalangan terpelajar
bahkan dari kalangan yang disebut sebagai ‘tokoh’ masyarakat.
Dalam analisanya,
fenomena hoax akan semakin parah nanti pada tahun 2019 ketika pilpres. Namun
demikian, masyarakat perlu membuat sikap agar bisa semakin memupuk minat baca,
mencari sumber yang dapat dipercaya, mengabaikan yang tidak berguna,
memanfaatkan aplikasi aplikasi yang menyaring hoax, dan juga terutama berani
kritis mempertanyakan bukan saja beritanya, namun juga keyakinannya. Kalau ada
berita yang sekiranya tidak benar, masyarakat bisa melaporkan ke laman
pengaduan resmi kementrian informasi, www.aduankonten.id
Setelah acara presentasi
yang agak panjang, namun hidup, selesai, dilanjutkan dengan sessi tanya jawab.
Berbagai tanggapan yang actual muncul dari antara peserta yang jumlahnya
ratusan orang tersebut. Beberapa pertanyaan bersifat tekhnis bagaimana caranya
melindungi anak anak muda dari hoax yang dijawab dengan ajakan agar berhati
hati dalam mempercayakan gadget kepada anak. Pertanyaan juga ada yang
menanggapi issu issu sosial masyarakat. Termasuk kepada pihak kepolisian
ditanyakan kenapa ada beberapa hal, kasus, yang semestinya sampai pada tokoh
akarnya, kok sepertinya berhenti di tengah jalan. Dalam hal ini pihak
kepolisian mengatakan bahwa kepolisian secara independen bekerja sesuai dengan
prosedur hukum yang berlaku. Kadang kadang ada juga orang orang tertentu yang
menjadi semacam perisai bagi atasannya sehingga memang pihak kepolisian akan
kesulitan sampai kepada akar permasalahannya yang sebenarnya.
Refleksi
Tujuan umum politik dan
menjadi tujuan utama adalah kesejahteraan bersama. Maka, seperti kata filsuf
Yunani, Plato, bahwa pada masyarakat yang cerdas mungkin demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan ideal. Namun, dalam situasi masyarakat yang kurang cerdas,
demokrasi tidak terlalu cocok. Karena tujuan politik kemudian sekedar merebut
kekuasaan dan dalam hal ini mereka bisa memanfaatkan berbagai macam cara,
termasuk cara cara adu domba.
Maka dalam konteks ini, pencerdasan dalam
masyarakat demokrasi sangat dibutuhkan. Kecerdasan berarti mengandalkan daya
nalar yang berani jujur dan objektif terhadap suatu peristiwa dan berita.
Dibutuhkan semacam keberanian untuk bisa melepaskan diri dari bayang bayang
ideologi yang kemungkinan bersifat manipulatif. Indonesia, telah paripurna
dengan ideologi pancasilanya dan hal ini telah teruji. Dengan kekayaan aneka
ragam suku, Bahasa, dan bahkan ras, Indonesia mampu bertahan sekian lama dan ini merupakan prestasi luar
biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, Indonesia merupakan
negara demokrasi dan dalam hal ini keanekaragaman ini menjadi ancaman yang
serius.
Baik cinta maupun
kebencian bisa mengaburkan nalar masyarakat. Cinta yang buta sama cara kerjanya
dengan kebencian yang buta. Maka kecerdasan pertama tama harus mencintai
kebenaran dan juga membenci kesesatan (dalam epistemologi, cara berfikir, bukan
dalam keyakinan). Maka, ungkapan dari Ibu Dra. Sri Suari menjadi relevan di
sini, sisakanlah ruang keraguan karena ini penting. Bukan untuk berburuk
sangka, tapi mengantisipasi kalau ada sesuatu yang salah dalam persepsi yang
dibangun dalam diri kita.
Melihat situasi masyarakat kita dewasa ini,
proses pencerdasan semacam ini masih membutuhkan waktu yang panjang. Namun,
meskipun sulit, bukan berarti tidak bisa kalau kita sadar dan menjadi upaya bersama
menanggulangi hoax.
Penulis : Herulono M.
0 Response to "MELAWAN BUDAYA HOAX"
Post a Comment