Rasanya kita sepakat, pilpres tahun ini lebih “menegangkan” dibandingkan pilpres tahun-tahun sebelumnya. Belum pernah saya melihat di media sosial sedemikian ramainya opini, berita dan informasi yang menjatuhkan salah satu paslon. Saat ini saya mesti ekstra hati2 membaca berita di medsos, untuk memastikan bahwa informasi yang saya baca bukanlah hoax.
Sebelumnya, saya berpikir pilpres hanya sekedar “permainan” Politik di dalam negeri. Syukur2 sebuah pesta demokrasi. Tapi setelah diskusi dengan berbagai narasumber yg saya anggap kompeten, saya makin yakin ada kekuatan eksternal yang (kembali) memainkan perannya untuk mendapatkan kekuasaan atau setidaknya keuntungan dari situasi politik dalam negeri saat ini. Mengingat dari dulu nusantara ini merupakan wilayah yg selalu diperebutkan kekuatan luar.
Dari pengamatan saya yang lebih diwarnai teori-teori Hubungan Internasional, makin jelas bahwa politik internasional sangat mempengaruhi politik nasional suatu negara.
Sebagai gambaran saja, dalam lima tahun terakhir ini, Amerika Serikat (AS) semakin melihat China sebagai ancaman. Dari sisi ekonomi, dengan Belt and Road Initiative (BRI) atau sebelumnya dikenal dengan One Belt One Road (OBOR) sejak tahun 2013, China lebih banyak diterima oleh negara-negara di kawasan Asia dan Afrika karena memberikan investasi dan pinjaman tanpa aturan berlebih, seperti isu HAM atau lingkungan yang dijadikan alasan oleh AS dan negara-negara Uni Eropa.
Belum lagi perang dagang antara AS dan China akibat banyaknya barang buatan China yang dijual di pasar internasional dengan harga murah serta memukul perekonomian AS belakangan ini.
Dari sisi militer, anggaran belanja alutsista China terus meningkat sejak akhir tahun 1990, terutama untuk kekuatan lautnya. Pemerintah China menggunakan justifikasi modernisasi persenjataan dan menjaga keamanan wilayah mereka khususnya wilayah laut untuk mengembangkan kekuatan militer mereka. Bagi beberapa negara, kebijakan militer China ini menjadi ancaman, terutama AS dan sekutunya.
Apalagi sejak China mengklaim hampir 90% wilayah Laut China Selatan sebagai miliknya, AS dengan tegas menunjukan perlawanannya dengan alasan “freedom of navigation” lalu mengeluarkan kebijakan “US Rebalancing Strategy” atau “US Pivot in Asia Pacific” pada tahun 2011 untuk mengimbangi kekuatan China yang dianggap terlalu dominan di kawasan Asia Pasifik.
Belakangan dengan menguatnya minat sejumlah negara untuk memperkuat kerjasama dan konektivitas di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia menjadi wilayah yang semakin strategis karena berada di pusat dan jalur perlintasan utama yang menghubungkan perekonomian negara-negara di wilayah Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Dari sini bisa dipahami, jika AS kemudian melihat pentingnya memainkan politik di dalam negeri Indonesia, sebagaimana yang dia mainkan di Timur Tengah, untuk mengamankan kepentingannya ketika berhadapan dengan China, sekaligus mendapatkan keuntungan dari posisi strategis Indonesia. Isu “PKI”, “pekerja China” dan “antek asing” hanyalah satu psywar yg mulai ditiupkan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sengaja "diframing" pro kebijakan BRI China.
Menjadi menarik ketika kemudian hal-hal ini dikaitkan dengan sejarah mengenai keterlibatan AS dalam upaya menjatuhkan Soekarno pada tahun 1965. Akankah sejarah terulang?
Bagi saya, rakyat Indonesia mestinya sudah lebih cerdas dan harus menolak untuk diadu domba kekuatan asing yang ingin menguasai dan mengeruk keuntungan di Indonesia.
Meminjam slogan Xi Jinping “Asia is for Asian People”, saya cuma mau ingatkan bahwa “Indonesia is for Indonesian.” Pilpres yang akan datang seharusnya mendatangkan keuntungan bagi rakyat Indonesia. Jangan salah pilih, jangan golput dan jangan biarkan kekuatan asing menggunakan kekacauan politik menjadi kendaraan untuk kekuasaan dan keuntungan mereka. Apalagi dengan memanfaatkan isu-isu agama dan radikalisme.
Salam Indonesia Damai ☺
Angel Damayanti
Dosen & Pengamat HI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Persaingan Politik Internasional dan Panasnya Politik Dalam Negeri"
Post a Comment