Sebenarnya dalam masa pelayanan-Nya Yeshua tidak pernah melihat gereja seperti yang kita lihat, Yeshua masuk dan keluar sinagoge yaitu rumah ibadat Yahudi.
Yeshua mengabarkan Injil di sinagoge dengan membaca dan menjelaskan kitab Torah (=pengajaran) dan kitab nabi-nabi (Ibr neviim) dan bukan memakai Injil Sinoptik.
Murid-muridNya yang disebut rasul disebut penganut Jalan Tuhan, bukan Kristen dan mereka tidak pernah mengucapkan Duabelas Pengakuan Iman Rasuli (bentuk paling primitif muncul dalam dokumen Interrogatory of Hippolytus, 215 M), tidak merayakan yang disebut Jumat Agung atau juga Paskah pakai telur hias dan perayaan 25 Desember bersama pohon hiasnya.
Istilah Kristen (Yun christianoi) baru muncul ketika bangsa-bangsa non Yahudi (Ibrgoyim) menjadi percaya di Antiokia (KR 11:26). Itupun julukan oleh orang Yunani sendiri, yang tidak akrab dengan istilah Ibrani Mashiakh sehingga menerjemahkannya dengan istilah Yunani Christos, yang kemudian melahirkan sebutan christianoi yang artinya umat Kristus. Orang Yahudi tidak akan menjuluki diri mereka atau orang lain dengan bahasa Yunani.
Murid-murid Yeshua akan menamakan bangsa-bangsa yang percaya dengan sebutan yang sama seperti mereka, penganut Jalan atau Natzratim (KR 24:5).
Sebagai penganut Jalan Tuhan dalam agama Yahudi, murid-murid Yeshua percaya bahwa keselamatan kekal didapat melalui iman kepada Mesias Yeshua. Sementara itu, para rabbi dalam agama yang sama mempercayai bahwa seluruh bangsa Israel akan mendapat bagian di olam haba, dunia yang akan datang karena mereka Israel (Mishnah Sanhedrin 10:1).
Dibawah penjajahan Romawi yang agamawi, kepercayaan Yahudi mendapat status yang baik; sementara para atheis diancam hukuman mati karena dianggap melawan kaisar yang dianggap dewa itu. Para penganut Jalan Tuhan dipandang sebagai sekte agama Yahudi dan karena itu mereka juga mendapat status yang baik. Karena status tersebut didapat karena deal politik kelompok Farisi yang kuat, maka tidak heran bila ada tekanan yang kuat dari kelompok ini kepada orang percaya non Yahudi yang menjadi pengikut Jalan Tuhan untuk menjadi bagian masyarakat Yahudi yang lebih luas dengan cara menjadi Yahudi secara resmi (proselyte).
Latar ini perlu dipahami oleh setiap orang yang mempelajari surat-surat rasuli.
Paulus, seorang Farisi, tidak pernah menolak Torah; tetapi ia menolak keselamatan kekal dikesankan seolah-olah dapat diterima dengan menjadi Yahudi secara resmi (proselyte).
Pemberontakan Yahudi terhadap Romawi
Pada tahun 66 M terjadilah pemberontakan Yahudi yang pertama yang dilakukan oleh kaum Zeloti. Untuk memadamkan pemberontakan bersenjata ini, Roma mengirimkan Titus dan pasukannya ke Yerusalem yang berakhir dengan penghacuran Bait Suci II pada tahun 70 M. Pemimpin-pemimpin Yahudi dipenjarakan termasuk Paulus.
Pemberontakan Yahudi yang kedua dipimpin oleh Simon Bar Kokhba tahun 135 M. Pemberontakan ini mendapat dukungan kelompok agama, bahkan Rabbi Akiva yang sangat berpengaruh itu sampai menyerukan bahwa Bar Kokhba adalah Mesias yang dinantikan. Pemberontakan ini ditindas oleh kaisar Romawi Hadrian yang dengan kebencian yang amat sangat mendirikan patung dewa Yupiter di lokasi Bait Suci. Untuk mempermalukan orang Yahudi, ia mengganti nama Yudea menjadi Palestina, Palaestina adalah pengucapan Latin untuk Filistin, musuh Israel kuno ketika mereka memasuki Kanaan. Dari ini saja kita tahu tidak ada bangsa yang bernama Palestina, istilah ini adalah ciptaan Hadrian. Orang Palestina di timur tengah sekarang adalah orang keturunan Arab.
Pemberontakan Bar Kokhba berakhir dengan jatuhnya benteng Masada, semua pahlawan Yahudi lebih memilih mati bunuh diri daripada ditawan oleh tentara Romawi. Akibat pemberontakan ini, Yerusalem menjadi kota tertutup bagi orang Yahudi. Murid-murid Yeshua penganut Jalan Tuhan telah lebih dahulu meninggalkan Yerusalem, mereka se gan membela Bar Kokhba karena mereka hanya percaya kepada Mesias Yeshua saja. Karena mereka tidak membantu perjuangan kemerdekaan itu, oleh para rabbi, mereka diragukan kesetiaannya kepada bangsa Yahudi. Sementara itu kaisar Hadrian menunjukkan sikap toleran kepada orang Kristen yaitu penganut Jalan Tuhan yang bukan Yahudi. Faktorfaktor politik yang memberatkan orang Yahudi setelah pemberontakan yang gagal ini mendorong orang percaya bukan Yahudi mulai berpikir, apa perlunya lagi mengidentifikasi diri mereka sebagai sekte agama Yahudi.
Peran Romawi- diskriminasi melalui Pajak Yahudi.
Setelah pemberontakan pertama, kaisar Dominitian (81-96 M) melakukan penindasan rasial terhadap bangsa Yahudi dengan memberlakukan pajak Yahudi. (Fiscus Judaicus). Setiap orang dipaksa memikir ulang hubungannya dengan bangsa Yahudi. Keadaan ini mengakibatkan orang percaya bukan Yahudi mulai berjarak dengan masyarakat Yahudi. Isyu saat itu adalah siapa yang dimaksud dengan orang Yahudi? Nerva, pengganti Dominitian mendefinisikan Yahudi sebagai orang yang mengikuti tradisi nenek-moyangnya. Tradisi nenek moyang didefinisikan lagi sebagai mengikuti cara-cara Yahudi yang meliputi pemeliharaan hari Shabbat, sunat, aturan makan yang menghindari beberapa hewan (kosher) dan penyembahan kepada Tuhan Abraham, Ishak dan Yakub.
Dengan kebijakan diskriminatif ini Romawi telah memecahbelah persatuan jemaat Yahudi dan bukan Yahudi. Orang percaya Yahudi tetap beriman kepada Yeshua HaMashiakh sambil menjalankan tradisi dari nenek moyangnya. Di lain pihak, orang percaya bukan Yahudi mulai menjauhi masyarakat Yahudi. Mereka pernah ditolak oleh mayoritas masyarakat Yahudi yang menuntut tindakan proselyte. Mereka tidak memiliki akar budaya dalam Torah seperti orang Yahudi. Bagi mereka mengikuti tradisi Yahudi hanya membuat hidup mereka susah dan tertindas.
Perpisahan Gereja dari Sinagoge
Dampak kesulitan-kesulitan akibat kebijakan diskriminatif Roma terhadap orang Yahudi, menuntut orang percaya bukan Yahudi memikir ulang identitas diri mereka sebagai kelompok lain bukan lagi sebagai bagian dari masyarakat Yahudi. Ditambah dengan jumlah orang percaya bukan Yahudi yang semakin banyak, jemaat Kristen ini mulai mengidentifikasi ulang diri mereka sebagai kelompok yang berbeda dari sinagoge dengan meremehkan Shabbat, mulai melawan Torah, memupuk rasa anti semitik dengan mengatakan Yahudi bertanggung jawab atas penyaliban Yeshua, melarang sunat, membuat upacara sendiri seperti Ekaristi yang berbeda dengan Seder Pesakh dan Baptisan Kristen. Dengan cara ini mereka dapat menghindari pajak Yahudi karena terbukti cara hidup mereka berbeda dengan orang Yahudi sementara mereka tetap dapat percaya kepada Yesus Kristus yang adalah Mesias orang Yahudi.
Pada abad 2 jarak yang telah ada antara gereja Kristen dan sinagoge menjadi semakin lebar setelah muncul pemimpin gereja Kristen yang tidak memahami akar Ibrani iman mereka, serta membuka diri terhadap sentimen anti semitik dan mengajarkan ajaran pengganti (replacement theology) yang mengatakan Gereja telah menggantikan Israel karena Israel telah ditolak Tuhan. Di antara mereka adalah Justin Martyr (100-165 M), Ignatius, Tertullian (160-220), Klemen dari Aleksandria (150-215), Origen (185-253), Eusebius (263-334) dan John Chrysostom (344-407), Uskup Antiokia yang dijuluki Si Mulut Emas.
Namun sampai demikian jauh, perpisahan gereja dan sinagoge tersebut masih terbatas pada wilayah-wilayah tertentu saja, belum menyeluruh. Perpisahan menyeluruh terjadi, sekali lagi, melalui campur tangan kaisar Romawi Konstantin Agung dengan membantu gereja menemukan identitas diri yang sama sekali berbeda dari sinagoge. Tahun 321 secara resmi ibadah Kristen dipindahkan dari Shabbat (Sabtu) ke hari Minggu, yaitu hari agama Mitras berbakti kepada Dewa Matahari. Melalui Konsili Nicea (325), Konstantin berhasil mendapat pengesahan Gereja Barat dan Timur untuk mengganti hari raya Pesakh dengan Easter yang berasal dari agama Mitras. Tahun 326 ia mendaulat tanggal 25 Desember dari perayaan Mitras Natalis Solis Invictus, menjadi hari kelahiran Yesus Kristus yang terus menggelinding sampai kini dan dipandang sebagai Injil oleh mayoritas Kristen. Bapa di surga melihat sudah terlalu banyak kreatifitas Konstantin dalam membuat sinkretisme dengan label Kristen sehingga tahun 327 ia dibiarkan pupus. Gerakan Reformasi abad 16 masih memakai kerangka warisan Konstantin, namun HaShem Tuhan yang hidup, tanpa seorang tokoh sentral, di abad 21 ini HaShem sedang memulihkan kemurnian pengajaran-Nya melalui Gerakan Mesianik di seluruh dunia.
(Penulis: Gmb Benyamin Obadyah, Pimpinan Gereja Kehilat Mesianik Indonesia.
Shoresh Messianic Fellowship, Jakarta).
0 Response to "Bagaimana Gereja Kristen meninggalkan akar Ibraninya"
Post a Comment