KAIROSPOS.COM, Jakarta - Gereja Katolik memiliki
hukum Gereja bernama Kitab Hukum
Kanonik, semua hal diatur di sana, seluruh dunia sepanjang menjadi anggota
Gereja Katolik akan terkena hukum ini. Artinya apa? bahwa di manapun akan
memiliki kebijakan yang sama persis. Tidak ada yang beda meskipun di pelosok
Afrika ataupun di pusat di Vatikan, demikian disampaikan Inggard Joshua ,
pemerhati GerejaKatolik, saat dihubungi melalui telpon selularnya, Rabu, 27
Maret 2019. “ Kitab Hukum Kanonik ini seperti KUHP nya hirarki Gereja Katolik, nah artinya semua
yang menjadi kebijakan hirarki itu harus
mendasarkan diri pada hukum Kanonik tersebut, ”tutur Inggard Joshua.
Hal ini tercermin dalam kanon 287 pasal 2, bunyinya:
Janganlah mereka (klerus) turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik
dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian
otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja
dan memajukan kesejahteraan umum.”.Selanjutnya dalam kanonik 227 dikatakan : “Kaum beriman kristiani awam
mempunyai hak agar dalam perkara-perkara masyarakat dunia diakui kebebasannya,
sama seperti yang merupakan hak semua warga masyarakat; tetapi dalam
menggunakan kebebasan itu hendaknya mereka mengusahakan agar kegiatan-kegiatan
mereka diresapi semangat injili, dan hendaknya mereka mengindahkan ajaran yang dikemukakan Magisterium Gereja;
tetapi hendaknya mereka berhati-hati jangan sampai dalamsoal-soal yang masih
terbuka mengajukan pendapat sendiri sebagai ajaran Gereja.”
Untuk mewujudkan ajaran tersebut di atas, setiap anggota
Gereja perlu berperan aktif sebagai“garam dan terang dunia”, sesuai tugas
tanggungjawab, situasi dan kemampuannya masing-masing, serta sesuai aturan yang
berlaku. Dalam hal ini semua anggota Gereja Katolik dikelompokkan dalam tiga
komponen, yaitu :kaum klerus, biarawan-biarawati dankaum awam. Semua komponen dapat dan perlu memaiankan
peranannya sesuai hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat/Negara dan
serentak wargaGereja. Selain itu secara khusus kaum klerus serta biarawan dan
biarawati berperan secara formatif dan tak langsung, sebagai pembina, pengawal
dan pengontrol, sedangkan kaum awam berperan secara praktis dan langsung,
sebagai politisi, pemimpin eksekutif dan birokrat.
Bila di cermati dengan teliti dan mendalam bunyi kanonik
tersebut, maka bukan semata-mata soal boleh atau tidak boleh yang jadi focus
perhatian tetapi Soal perlu atau tidak perlu. Para klerus perlu ikut berperan
dalam bidang politik dan pemerintahan, bukan sebagai politisi atau penguasa
eksekutif, tetapi sebagai pembina, pengarah dan pengontrol. Misalnya memberi
pendidikan politik, member pencerahan dan arahan kepada umat dan masyarakat
untuk memilih calon yang tepat menurut kriteria.
Gereja Katolik selalu menyebut dirinya bukan suatu institusi
politik. Namun, tidak dapat dihindari bahwa peran dan kehadiran Gereja memiliki
muatan politis. Yang perlu diketahui ialah tugas gereja dalam bidang politik
ada dalam tatanan moral dan iman. Kedua bidang ini memiliki dimensi dan muatan
politis.Namun politik yang dimaksud di sini bukan politik kekuasaan melainkan
bidang moral. Kalau gereja memberikan suatu pernyataan politis, lingkupnya ada
dalam bidang moral. Hal itu tidak berarti bahwa gereja melakukan intervensi ke
dalam kebebasan dan otonomi pribadi. Semua itu berangkat dari kesadaran akan
tanggungjawab menjaga nilai-nilai moral kemanusiaan.
Namun ironisnya, kondisi kekinian, justru hirarki dihadapkan pada masalah adanya indikasi
gerakan yang ingin mengkooptasinya dalam suatu Kepentingan Politik
Kapitalistik, sehingga implikasinya relasi gereja dengan komunitas agama
lain,gereja dengan etnis lainnya dan sebagainya mengalami dekadensi moralitas
akibatnya gereja seperti menara gading
yang berdiri angkuh menyendiri.Gereja telah melakukan intervensi ke
dalam kebebasan dan otonomi pribadi. “InsidenPilkada DKI
Jakarta 2017 suatu realita Gereja menjadi menara gading yg terpolarisasi dalam
kubangan Politik kapitalistik,akankah peristiwa tersebut terjadi lagi di
Pilpres 2019? Situasi tersebut, janganlah terulang kembali” ungkapnya.
Menurutnya, untuk mencegah agar tidak terulang kembali
peristiwa pilkada DKI Jakarta 2017silam, pada penyelenggaran Pileg dan Pilpres
2019 mendatang maka harus ada suatu tindakan pencegahan dini melalui upaya
mengingatkan hirarki agar bersikap netral sesuai hukum Kanonik. “ Jujur, saya bicara ini bukan mencari kekuasaan ataupun
popularitas, melainkan wujud dari keprihatinan saya terhadap kondisi hirarki
gereja Katolik. Kita menghendaki di Pilpres 2019 nanti, apabila Jokowi menang,
Gereja selamat, nah kalau Prabowo menang, Gereja juga selamat, ini artinya,
saya ingin menjaga Netralitas Hirarki, agar Gereja lebih bermartabat, kalau
bukan Kita dan anda kalian yang menjaganya, Siapa lagi? Kalau bukan sekarang
mencegahnya, kapan lagi? Nunggu gereja hancur?wuaduh itu yang saya dan anda kalian tidak inginkan, dan
tentunya seluruh umat Katolik di seluruh dunia, tidak menghendaki Gereja
Katolik di Indonesia hancur oleh suatu kebijakan yang menafikan hukum
kanonik” tutup Inggard Joshua.
0 Response to "Inggard Joshua : Gereja Bermartabat Karena Hirarki Netral"
Post a Comment