Ade Armando
Universitas Indonesia
Artikel ini pada intinya berusaha menggambarkan perkembangan gerakan Islamis-Tarbiyah yang mengandung muatan anti pluralisme dan anti keberagaman di Universitas Indonesia.
Akan digambarkan bagaimana perkembangan gerakan ini sudah berlangsung dalam periode yang panjang, dimulai pada era Orde Baru, dan kini sudah menancapkan akar yang kuat di UI.
Namun demikian, kehadiran gerakan islamis-Tarbiyah ini tidak dapat dikatakan sebagai mendominasi seluruh struktur politik di UI. Gerakan ini terutama kuat di kalangan mahasiswa dan pengajar muda.
Namun mereka tidak sepenuhnya mendominasi sebagai kekuatan tunggal, karena terus berhadapan dengan budaya keilmuan dan politik UI yang sekuler.
Kekuatan Islamis-Tarbiyah ini tidaklah berkembang secara mandiri dan steril dari dinamika politik ekstra kampus. Bahkan dapat dikatakan gerakan Islamis-Tarbiyah ini sekadar merupakan perpanjangan tangan kekuatan politik di luar kampus, terutama PKS.
Dalam lebih dari 20 tahun, mereka telah berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang paling terkoordinasi dan menjaring di UI.
Pemilihan Ketua BEM UI hampir selalu dimenangkan utusan pihak Tarbiyah UI. Namun karena keterkaitannya dengan kekuatan-kekuatan politik di luar kampus ini, gerakan Islamis-Tarbiyah ini kini menghadapai penentangan dari kekuatan-kekuatan politik yang berusaha mencegah tumbuhnya kaum Islamis di Indonesia.
METODE PENGUMPULAN DATA
Artikel ini didasarkan pada rangkaian wawancara dengan sejumlah informan: pejabat Humas UI, seorang wakil dekan di salah satu fakultas, dua mantan mahasiswa Tarbiyah, serta beberapa aktivis anti intoleransi. Selain itu, penulis juga menggunakan pengalaman dan pengamatan langsung penulis sebagai dosen UI mengenai kegiatan akademik dan non-akademik di UI sebagai sumber materi tulisan
PEMBABAKAN
Tulisan ini akan terbagi dalam bebarapa bagian:
a. Dominasi Islamis Tarbiyah di UI
b. Wacana Yang Dikembangkan
c. Sejarah
d. Peran Gumilar
e. Organisasi
f. Bagaimana Tarbiyah Merekrut Anggota dan Menguasai BEM
g. Sejumlah Perubahan
DOMINASI ISLAMIS-TARBIYAH DI UI
Kecenderungan radikalisasi keagamaan di Universitas Indonesia tidaklah kuat. Namun yang harus dicatat adalah adanya pembesaran gerakan yang percaya pada gagasan-gagasan kaum Islamis. Dalam artikel ini, istilah Islamis akan penulis gambarkan sebagai kalangan yang memiliki keyakinan bahwa bangsa ini seharusnya hidup dengan tunduk pada aturan-aturan yang ditetapkan Tuhan dalam kitab suci Al Quran dan Hadits.
Komunitas besar ini tidak dicirikan dengan keinginan mendirikan Negara Islam, seperti Hizbut Tahrir atau NII. Mereka tidak radikal. Mereka pada dasarnya gerakan damai yang terobsesi untuk membangun sebuah negara yang lebih Islami. Namun, karena obsesi yang mereka miliki, komunitas ini membangun kekuatan yang eksklusif yang melihat kampus sebagai sebuah sarana yang strategis untuk mencapai tujuan utama tersebut. Untuk itu, mereka berupaya untuk meraih kekuasaan ataupun memberi pengaruh yang menentukan dalam politik kampus, serta membangun ikatan hubungan dengan kekuatan politik di luar kampus, terutama dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Gagasan-gagasan Islamis, dalam konteks Universitas Indonesia, diwakili oleh sebuah gerakan yang disebut kelompok Tarbiyah (yang dalam makna aslinya berarti ‘pembinaan’) yang berafiliasi dengan Partai keadilan Sejahtera (PKS).
Di UI, kelompok-kelompok Islamis yang disebut sebagai kaum/gerakan Tarbiyah belum menguasai inti lingkaran politik kampus. Bisa dikatakan, karena pengalaman sejarah yang panjang, UI sebenarnya tetap dikuasai oleh pimpinan-pimpinan yang sekuler.
Namun kelompok Islamis sudah semakin memperkuat pengaruhnya di kalangan mahasiswa (terutama Badan Eksekutif Mahasiswa) dan dosen muda, selain lembaga-lembaga keagamaan, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa Keagamaan (untuk mahasiswa Islam adalah SALAM UI), lembaga-lembaga studi Islam di setiap fakultas, serta kepengurusan masjid dan musholla.
Komunitas muslim di UI tidaklah tunggal. Selain kaum tarbiyah yang berafiliasi ke PKS, terdapat juga organisasi-organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama), atau Salafi. Namun arti penting kehadiran tiga kelompok mahasiswa tersebut jauh lebih rendah dan tidak terorganisir dibandingkan jaringan Tarbiyah yang menguasai politik mahasiswa di kampus.
Masing-masing organisasi non-Tarbiyah ini memiliki kelemahan masing-masing. HMI sempat kuat di masa awal Orde Baru, namun sejak depolitisasi kampus pada tahun 1980an, sinarnya terus meredup. Kehadiran mereka tidak cukup signifikan di UI saat ini karena HMI di tingkat nasional sendiri sudah melemah, sehingga HMI di UI tidak memiliki ikatan organisatoris dengan kekuatan politik berpengaruh manapun. PMII lemah karena memang kader NU yang lolos masuk UI tidak cukup signifikan jumlahnya. Sementara Salafi memang tidak memiliki tradisi pelembagaan politik, sehingga hanya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengajian dengan peserta yang jumlahnya terbatas.
Pengaruh kaum Islamis-Tarbiyah ini juga berbeda antar fakultas. Pengaruh mereka yang terkuat terlihat di Fakultas MIPA, Fakultas Keperawatan, Fakultas Farmasi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Komputer, Fakultas Ilmu Administrasi dan Fakultas Tehnik.
Yang paling lemah pengaruhnya di FISIP dan Fakultas Ilmu Budaya. Sedangkan di Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi, posisinya cenderung seimbang.
Pengelolaan masjid UI – baik di Salemba maupun Depok – dikuasai oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok Islamis. Salah seorang pengurus Masjid UI, misalnya adalah, pengurus Majelis Ulama Indonesia.
Pimpinan tertinggi UI sendiri tidak dikuasai oleh kaum Islamis. Pengaruh kaum Islamis terutama kuat hanya pada periode kepemimpinan rektor Gumilar Soemantri (2007-2012), namun di luar itu, rektor UI selalu diisi oleh orang-orang yang kalau tidak sekuler atau yang menjaga jarak dengan kekuatan Islam politik. Namun ini tidak berarti jajaran rektorat bersih dari kalangan Islamis. Kalangan Islamis terutama menyasar dua posisi penting, yakni Direktur SDM dan Direktur Kemahasiswaan.
Ini juga terjadi di jajaran pimpinan Fakultas.
Pengaruh kaum Islamis di jajaran dosen juga tidak bisa dikatakan dominan. Para dosen senior UI umumnya dipilih di masa Orde Baru ketika UI cenderung berjarak dengan kelompok agama. Namun pengaruh kaum Islamis semakin terlihat di jajaran dosen muda.
Posisi kedua Direktur tersebut dianggap memiliki arti penting karena Direktur SDM memiliki otoritas untuk menentukan rekrutmen dosen dan kelancaran karier dosen.
Sementara Direktur Kemahasiswaan berperan penting dalam membantu aktivis keislaman mahasiswa. Misalnya saat ada larangan bagi organisasi-organanisasi intra universitas dan fakultas untuk membuat acara di luar kampus, seperti malam pelantikan mahasiswa baru di luar kota, Direktur Kemahasiswaan yang berlatarbelakang Tarbiyah bisa saja mengizinkan organisasi Islam untuk menyelenggarakan acara di luar kota.
Di masa penerimaan Mahasiswa Baru, Direktur Kemahasiswaan di era Gumilar, menyelenggarakan kegiatan membangkitkan motivasi secara spiritual (SQ) oleh motivator sekaligus pendakwah.
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok Islamis di UI adalah dominasi budaya sekuler di UI. Kampus UI adalah tempat yang melahirkan para teknokrat yang mendukung pemerintah Soeharto yang pada dasarnya berjarak dengan Islam.
Sebagian besar guru besar senior yang menjadi semacam dewa-dewa di setiap fakultas adalah mereka yang menempuh pendidikannya di negara-negara Barat, terutama Amerika serikat. Karena itu, kendatipun kecenderungan itu agak berubah pada 10-20 terakhir – di saat banyak juga guru besar itu menempuh pendidikan S3 nya di dalam negeri – tidak mudah bagi kelompok-kelompok Islam untuk merombak budaya dominan tersebut.
Walaupun gerakan ini memiliki sisi lemah, gerakan Tarbiyah adalah gerakan mahasiswa yang paling terorganisasi di kampus.
Kelompok-kelompok dengan tawaran mazhab berpikir lain pun sempat berkembang di UI, misalnya Pandu Budaya, Gerakan Mahasiswa Pembebasan (GMP), Serikat Mahasiswa Progresif (Semar), serta UI Liberalism and Democracy Study Club (UILDSC).
Namun kelompok-kelompok ini terkesan hilang-timbul dan tidak terorganisasi secara matang.
Ini yang menyebabkan para mahasiswa muslim yang berusaha mencari wadah yang memuaskan hasrat keingintahuan intelektualnya seringkali akhirnya hanya bertemu dengan tawaran-tawaran yang diberikan kaum tarbiyah.
WACANA YANG DIKEMBANGKAN
Seperti diungkapkan, kelompok-kelompok Islamis di UI pada umumnya bukanlah pendukung gagasan Khilafah seperti HTI atau gagasan Negara Islam.
Setidaknya ada tiga wacana yang dominan dalam gerakan tarbiyah di UI.
Pertama adalah kewajiban umat Islam untuk menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasayarakat.
Kedua, adanya ancaman terhadap Islam yang datang dari musuh-musuh Islam. Ketiga, era sekarang adalah era perang pemikiran.
Dalam wacana pertama, yang disosialisasikan adalah cara pandang bahwa keselamatan masyarakat hanya dapat dicapai selama masyarakat taat menjalankan perintah Tuhan yang sudah disampaikan melalui Al Quran dan hadits. Dalam hal ini yang diajarkan adalah ketaatan beribadah, kesolehan, ketakwaan, dan persatuan umat.
Para mahasiswa diajarkan untuk tidak terjebak dalam rangsangan materialisme, hedonisme, dan sekulerisme.
Di tahap ini, para mahasiswa diajarkan untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan dan menjadikan Islam sebagai “rahmat bagi sekalian alam”. Namun pada saat yang sama, wacana tahap pertama ini juga sudah menanamkan nilai-nilai pembedaan umat Islam dengan umat lain. Dalam hal ini, sudah ditanamkan keyakinan untuk membangun persatuan umat Islam agar nilai-nilai dan ajaran Islam dapat dijalankan secara total.
Umat non-islam tidak dipandang sebagai musuh, tapi tidak juga dipandang sebagai saudara sebangsa yang harus diajak bekerjasama secara setara.
Semangat eksklusivisme semakin menguat di wacana tahap kedua. Dalam hal ini, wacana yang terus dikembangkan adalah perlunya umat Islam bersatu melawan penindasan terhadap Islam yang terus berkembang secara berkelanjutan oleh kaum kafir atau musuh-musuh islam, yang merupakan kombinasi dari kelompok Kristen, Zionisme, imperialisme-kapitalisme Barat, dan kalangan liberal-sekuler.
Wacana yang dikembangkan adalah: Islam adalah kalangan yang terus diancam dalam perang antara peradaban Islam dan Barat yang sudah berlangsung selama berabad-abad.
Islam digambarkan sebagai agama damai yang terus dimusuhi dan berusaha dimusnahkan oleh kaum kafir dan ‘Barat’ (sebuah penamaan yang mencakup kombinasi kepentingan seluruh musuh non-Islam.). ‘Ancaman’ komunis tidak terlalu mendapat tempat.
Masa penjajahan Belanda digambarkan sebagai bagian dari upaya Kristen menguasai dunia Islam.
Karena itulah, dalam pandangan kaum Tarbiyah, tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Islam ditindas sementara tokoh-tokoh sekuler diberi perlakuan istimewa oleh pemerintah kolonial.
Mereka juga menyayangkan dicoretnya kalimat-kalimat Piagam Jakarta dalam UUD 1945, yang bagi mereka menunjukkan kekuatan kelompok-kelompok sekuler dan Kristen.
Diajarkan juga bahwa kaum Tionghoa adalah sekutu kaum Kristen dan sekuler dalam menindas umat Islam.
Dalam narasi yang dibangun, ada keengganan untuk masuk ke isu Negara Islam. Bahkan para senior menggambarkan bahwa isu itu sengaja diangkat untuk memuat orang membenci Islam politik. Pada dasarnya para mahasiswa Islamis ini cukup moderat dalam isu negara Islam, yakni Negara Islam tidak diperlukan selama nilai-nilai dan hukum Islam ditegakkan.
Mungkin karena itu pula, Hizbut Tahrir Indonesia tidak terlalu popular di UI. HTI kalah cepat dari kelompok-kelomok tarbiyah yang lebih dekat dengan PKS.
Pada tahapan ketiga, yang mendapat penekanan adalah apa yang disebut sebagai ‘gazwul fikri’ (perang pemikiran). Dalam narasi ini, penaklukan Islam oleh barat tidak dilakukan oleh kekuatan senjata dan politik, tetapi melalui penguasaan pemikiran dan kebudayaan.
Dalam kaitan ini, para mahasiswa diajarkan untuk senantiasa bersikap waspada terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari dunia kafir atau Barat yang sebenarnya sengaja dikembangkan untuk menghancurkan Islam.
Mereka dibuat percaya bahwa pusat-pusat keilmuan Barat dengan sengaja merekrut mahasiswa-mahasiswa terbaik dari dunia Islam untuk belajar di sana agar mereka bisa menjadi agen penyebaran gagasan-gagasan Barat ketika kembali ke negara asal.
Karena itu kalaupun para mahasiswa belajar ilmu dari buku-buku Barat, pelajaran itu harus senantiasa disertai sikap waspada terhadap kepentingan di belakang ilmu-ilmu tersebut. Begitu juga mereka diminta untuk senantiasa bersikap hati-hati terhadap para ilmuwan dan dosen mereka yang belajar di negara Barat atau yang terlihat cenderung mengajarkan teori-teori Barat sekuler seraya meminggirkan nilai-nilai agama.
Untuk mencegah ‘terkontaminasinya’ pemikiran mereka oleh gagasan-gagasan sekuler Barat, mereka diminta juga secara intensif mempelajari karya-karya pemikir Islam yang sejalan dengan gerakan Tarbiyah yang memang mengacu pada gerakan Ikhwanul Muslimin, Mesir.
Beberapa penulis yang dianggap sebagai ilmuwan rujukan utama mereka adalah: Hasan Albanna, Sayed Qutub, Hasan at-Turabi, Said Hawwa atau Yusuf Qardawi.
Para senior bahkan mengharamkan jemaat muda untuk membaca buku-buku Islam yang ditulis oleh cendekiawan yang tidak sejalan dengan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Itulah yang menyebabkan mereka menolak membaca buku-buku yang ditulis para cendekiawan muslim Indonesia yang dianggap adalah bagian dari dari Gazwul Fikri.
Pemikiran dari kaum Islam liberal dan para pembaharu seperti Nurcholish Madjid, KH Ahmad Syafii Maarif, Abrurrahman Wahid, tidak pernah mereka diskusikan, kecuali dalam konteks bahaya ancaman pemikiran liberal.
Kombinasi dari ketiga narasi tersebut adalah terbangunnya sebuah komunitas solid yang tertutup eksklusif yang bersikap hati-hati, mencurigai, memusuhi, dan menutup diri dari kalangan lain. Mereka sangat percaya bahwa mereka harus mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana pernah dicapai di masa lalu, dan untuk itu mereka harus bersatu membangun sebuah umat yang solid dan kompak menghadapi kekuatan-kekuatan politik-ekonomi dan racun-racun pemikiran dan kebudayaan yang akan menghancurkan Islam. Untuk itu mereka bukan hanya harus menempati posisi-posisi strategis tapi juga harus menjadi manusia-manusia unggulan yang mampu mengalahkan kaum kafir.
Semangat ini semakin menguat di UI terutama sejak Pilkada DKI 2012, yang diikuti oleh Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, Pemilihan Gubernur di sejumlah daerah pada 2018, dan Pilpres 2019.
Dalam narasi yang dibangun, semua orang beragama Islam adalah bersaudara dan semua orang non-muslim bukan saudara.
Karena itulah seorang muslim yang korup tetap dianggap sebagai bagian keluarga umat Islam, sementara seorang non-muslim yang bersih dari korupsi akan dianggap sebagai seorang ‘kafir yang baik’ tapi tetap bukan saudara dalam keluarga umat Islam.
Penting dicatat, kecenderungan untuk bersikap eksklusif ini tidak menjadikan kaum tarbiyah Islamis sepenuhnya memutuskan hubungan dengan kelompok lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bersikap cukup moderat dalam pergaulan. Mereka tetap terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang tidak terkait dengan agama.
Sikap mereka tentang hukum Islam (syariah) juga tidak solid.
Di satu sisi mereka percaya hukum Islam bukanlah sesuatu yang mutlak diberlakukan sesuai dengan apa yang dilakukan di negara-negara Islam. Dalam hal ini, mereka percaya perlu ada kontekstualisasi hukum Islam.
Namun di sisi lain, mereka tetap percaya bahwa Al Quran seharusnya menjadi kitab suci yang lebih tinggi daripada hukum yang dibuat manusia.
Karena itu semangat mereka adalah bagaimana menyusupkan ajaran-ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam Islam ke dalam tubuh Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Bagaimanapun, narasi bahwa Islam berada di bawah ancaman turut membangun menyebabkan kalangan tarbiyah Islamis ini cenderung berempati atau bahkan mencari-cari justfikasi terhadap kaum Islam radikal. Bahkan terhadap ISIS, ada argument-argumen pembelaan bahwa ISIS adalah sekadar korban dari politik internasional.
Dalam narasi ini, ISIS digambarkan berkembang karena kejahatan Barat dan AS yang selama ini telah menindas dunia Islam dan merampas kekayaan dunia Islam. Dengan meminjam konsep-konsep yang mereka pelajari, mereka membayangkan ISIS sebagai bagian dari ‘counter hegemony’ terhadap dominasi Barat. Sebagian mahasiswa bahkan menganggap bukti-bukti kekejaman ISIS adalah sesuatu yang diciptakan Barat.
Mereka juga sangat sensitif terhadap sesuatu yang mereka gambarkan sebagai bagian dari upaya merusak akidah islam.,
Misalnya saja ketika pada 2016, sebuah organisasi mahasiswa bernama Support Group and Resources Centre on Sexuality Studies mengumumkan kehadirannya untuk membantu para LGBT yang mungkin mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan di UI, SGRS langsung diserang oleh kelompok-kelompok mahasiswa Islamis.
Kelompok-kelompok mahasiswa ini mendesak pimpinan Universitas dan juga mengontak media massa untuk mendesak organisasi tersebut keluar dari UI.
Pemikiran keislaman yang dominan di UI ini bukanlah sesuatu yang berkembang secara independen di dalam tubuh masyarakat UI, melainkan sangat dipengaruhi oleh wacana dominan yang berkembang di kelompok-kelompok politik di luar kampus, terutama PKS.
Ini misalnya sangat terlihat dalam sikap kaum mahasiswa Islamis terhadap pemerintahan Jokowi dan Prabowo.
Di dalam komunitas tarbiyah, mereka mengenal dua doktrin terkenal: “nahnu du’at qobla kulli sya’i” (kami adalah pertama-tama dai’, baru yang lainnya) dan “sami’na wa ata’na” (kami dengar dan kami patuhi).
Dalam doktrin pertama, setiap anggota tarbiyah diharapkan menjadi pendakwah terus menerus kepada lingkungannya, di mana pun ia berada.
Dalam doktrin kedua, ada hirarki kepatuhan seorang jemaah terhadap pimpinannya.
Ini berdampak pada dua hal. Pertama, mahasiswa anggota tarbiyah aktif mempengaruhi teman-temannya untuk ikut dalam gerakan mereka.
Kedua, mereka patuh pada instruksi-instruksi yang datang dari pimpinan, tanpa kritis bertanya.
Ini yang menyebabkan gerakan ini sangat solid dan terpusat, serta juga terus memperluas gerakan.
Perilaku semacam ini bukannya tidak menimbulkan gesekan. Sebagian mahasiswa merasa sangat terganggu dengan gaya dakwah mereka.
Misalnya saja, untuk mempurifikasi tatanana moral, para mahasiswa tarbiyah ini sering menyindir para mahasiswi yang tidak berjilbab.
Hal semacam ini tidak selalu bisa diterima oleh mahasiswi yang disindir, terutama mereka yang berada dalam lingkungan kampus ilmu-ilmu humaniora yang cenderung menghargai keberagaman, seperti FISIP dan FIB.
Begitu juga dalam kelompok-kelompok Tarbiyah, beredar semangat untuk membela ekonomi ‘pribumi’, misalnya dengan tidak bekerja di perusahaan-perusahan yang dikuasai kekuatan Barat, Kristen atau Tionghoa; serta mengembangkan usaha yang terikat dalam jaringan ekonomi pengusaha-pengusaha muslim.
Dalam narasi ini, berkembang juga narasi untuk mengembangkan basis ekonomi syariah, seperti Bank Syariah, Bank Muamalat, serta produk-produk halal sebagai perlawanan terhadap dominasi perusahaan-perusahaan non-muslim.
Penguatan eksklusivisme di kalangan Tarbiyah ini sangat dipengaruhi oleh kondisi politik di luar kampus.
Bahkan bisa dikatakan sikap politik Tarbiyah di UI dapat dibedakan antara dua periode perkembangan politik:
sebelum 2012 dan
sesudah 2012.
Sebelum 2012, sikap politik kaum Tarbiyah cenderung lebih pluralis.
Sesudah 2012, mereka menjadi lebih eksklusif dan bersikap bermusuhan dengan kalangan non-muslim dan muslim sekuler-nasionalis.
Yang menjadi pemicu perubahan adalah pemilihan Gubernur DKI. Pada 2012, PKS dan PAN (Partai Amanat Nasional) mengajukan calon Gubenur-Wakil Gubenur: Hidayat Nurwahid dan Didik Rachbini.
Pasangan ini kalah di putaran pertama dan kemudian mendukung pasangan yang diajukan Partai Demokrat, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, di putaran kedua.
Di putaran kedua itu pun, mereka akhirnya kalah dari pasangan Jokowi – Basuki Tjahaja Purnama (yang diusung PDIP dan Gerindra).
Pada saat itu narasi Islam versus Non Islam mulai menguat, antara lain karena Jokowi dianggap mewakili sosok muslim abangan dari PDIP – yang memang distigmakan sebagai partai nasionalis anti Islam -- yang sengaja ditarik dari Solo untuk mengalahkan Islam. Apalagi Wakil Gubenurnya adalah seorang keturunan Tionghoa dan Kristen, Basuki (atau lebih dikenal dengan nama Ahok).
Pertarungan Gubenur Jakarta itu dapat dikatakan menjadi awal dari sebuah perjalanan politik panjang PKS untuk tujuh tahun berkutnya:
Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur DKI 2017, Pemilihan Gubenur di berbagai daerah 2018, dan
Pemilihan Presiden 2019.
Di sepanjang perjalanan itu, isu politik identitas senantiasa muncul dan semakin menguat. PKS mengembangkan narasi bahwa mereka harus menyelamatkan Islam di Indonesia dari cengkeraman perpaduan kekuatan kaum Kristen, Tionghoa, Barat, Asing, Sekuler, Liberal, dan Komunis.
Pertarungan PKS di tingkat nasional dan regional ini pada gilirannya mempengaruhi wacana dan gerak kelompok Islamis-Tarbiyah di UI. Di satu sisi, mereka secara langsung diarahkan atau bahkan diperintahkan untuk mendukung semua kandidat yang didukung PKS.
Di sisi lain, mereka dilibatkan untuk mengkampanyekan para paslon yang didukung PKS dan menyebarkan gagasan tentang ancaman terhadap Islam yang diusung oleh PKS.
Ini mempengaruhi isi kegiatan kemahasiswaan dari tingkat universitas sampai fakultas.
Dalam bentuk paling sederhana, percakapan dalam diskusi-diskusi atau pengajian di musholla-musholla kampus banyak diisi oleh narasi ancaman terhadap Islam;
dalam bentuk lebih luas, para kader Islamis-Tarbiyah terlibat dalam gerakan massa menolak atau menyerang Jokowi secara terbuka.
Pada 2018, Ketua BEM UI Zaadit Takwa secara terang-terangan mengeluarkan kartu kuning di depan publik dan diliput media massa yang menghadiri acara Dies Natalis UI sebagai bentuk perlawanan terhadap Jokowi yang memberi sambutan pada acara tersebut.
Sejalan dengan sikap oposisi PKS terhadap Jokowi, kelompok-kelompok mahasiswa Islamis di UI mengecam Jokowi dengan argument serupa sebagaimana yang dikembangkan di luar kampus: bahwa Jokowi dikendalikan oleh pengusaha Tionghoa, bahwa Jokowi menggadaikan kekayaan Indonesia ke pihak asing, bahwa Jokowi bergantung kepada utang luar negeri dan seterusnya
Namun dampak pada kehidupan kemahasiswaan tidaklah berhenti pada keterlibatan politik praktis mahasiswa dalam rangkaian pemilu tersebut, namun juga pada penguatan semangat narasi persaudaraan umat Islam melawan musuh-musuhnya di dalam kampus.
Sesudah 2012, gagasan pluralisme semakin tidak mendapat tempat di kalangan Islamis-Tarbiyah, sementara narasi polarisasi ‘kita versus mereka’menguat.
Kecenderungan untuk memperkuat kohesi di dalam tubuh persaudaraan Islam semakin terasa yang antara lain diwakili oleh materi-materi yang diajarkan dan ditanamkan melalui pengajian, pengkaderan dan pelatihan yang dilakukan dalam gerakan Islamis-Tarbiyah.
Mahasiswa islam, termasuk anggota komunitas Tarbiyah, yang mendukung Jokowi dipertanyakan komitmen keislamannya.
Stigmatisasi terhadap etnis Tionghoa, Kristen, non-muslim dan bahkan gagasan-gasan feminism menguat.
Dengan demikian dapat dikatakan kalaupun gerakan-gerakan Islam radikal tidak tumbuh di UI, namun tetap ada pembesaran gerakan Islamis yang cenderung memandang dunia sebagai medan pertarungan yang terpolarisasi antara umat Islam melawan segenap kekuatan non-muslim yang mengancam Islam.
SEJARAH
Sebagaimana di kampus-kampus negeri lain, masuknya gerakan Tarbiyah ke UI berlangsung sekitar tahun 1990an. Namun perkembangan itu berlangsung dalam konteks yang spesifik UI.
UI adalah sebuah kampus sekuler yang di era awal Orde Baru melahirkan para teknokratis yang turut berperan dalam pembangunan Orde Baru. Para pimpinannya memiliki ideology sekuler yang kuat. Dengan posisinya yang berada di ibukota negara, UI juga diawasi oleh pemerintah Orde Baru yang memiliki kecenderungan mencurigai gerakan Islam.
Ini tentu saja tidak berarti kelompok Islam sama sekali tidak hadir. Salah satu organisasi ekstra yang kuat di UI adalah Himpunan Mahasiswa Islam. Mereka secara berkelanjutan bertarung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan lain, termasuk dengan komunitas mahasiswa non-organisasi, dalam memperebutkan posisi Ketua Senat Mahasiswa dan ketua Dewan Mahasiswa.
Pada awal 1980an, sejumlah hal terjadi yang mengubah konstalasi politik kemahasiswaan.
Menteri PDK Daoed Jusuf pada 1978 menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus yang pada intinya berusaha meminggirkan pengaruh politik luar kampus ke dalam dunia mahasiswa, dan memaksa mahasiswa tidak lagi aktif berpolitik.
Mahasiswa dipaksa untuk memusatkan perhatian pada kegiatan perkuliahan atau terlibat dalam unit-unit kegiatan kemahasiswaaan, bergantung pada minat mahasiswa.
Unit-unit kegiatan mahasiswa ini didanai tapi sekaligus dimonitor secara ketat oleh pimpinan universitas dan fakultas.
Posisi pimpinan universitas sendiri ditentukan oleh pemerintah. Dewan mahasiswa dibubarkan. Di tingkat fakultas, ada Senat Mahasiswa, namun tidak berada di bawah kepemimpinan lebih tinggi di tingkat universitas. Dalam kondisi semacam ini, HMI pun menyurut pengaruhnya.
Di sisi lain, di awal 1980an terjadi sejumlah peristiwa dan perkembangan yang menyebabkan Islam diawasi dengan ketat. Pertama, keberhasilan Revolusi Iran pada 1979 memiliki pengaruh pada kesadaran kaum muda Islam untuk bangkit dari ketertindasan selama berpuluh tahun.
Kebetulan 1980 adalah tahun pertama dalam abad ke-15 Hijriyah, sehingga disebut sebagai tahun awal kebangkitan kembali Islam setelah berabad-abad dijajah Barat. Ini mendorong lahirnya semangat pergerakan berbasis Islam. Antara lain karena hal tersebut, pada 1983, Soeharto menelurkan kewajiban Asas Tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi di Indonesia.
HMI termasuk organisasi yang pada awalnya menolak, meskipun pada 1986 akhirnya menerima kewajiban tersebut. Bagaimanapun keengganan HMI menerima asas tunggal menjadikannya sebagai organisasi yang terus dicurigai pemerintah.
Selain itu ada rangkaian perkembangan yang menampakkan sisi kekerasan kelompok Islam.
Pada tahun 1981, terjadi pembajakan pesawat Garuda oleh apa yang disebut sebagai Komando Jihad. Pada 1984, terjadi pemboman geraja di hari Natal. Pada 1985, ada pemboman Candi Borobudur. Pada 1984 juga terjadi tragedi Tanjung Priok yang menewaskan banyak korban, yang dibaca sebagai insiden yang diprovokasi oleh umat Islam di daerah tersebut untuk menyerang aparat keamanan.
Segenap hal ini membuat pemerintah secara ketat mengawasi gerak kelompok-kelompok Islam politik.
Di UI, perkembangan ini direspons dengan tumbuhnya gerak mahasiswa yang meninggalkan arena politik, setidaknya di masa awal.
Salah satu yang terpenting adalah gerak intelektual, dengan salah satu tokoh utamanya adalah Imam B Prasodjo.
Saat menjadi mahasiswa, dia sempat menjadi Ketua Senat mahasiswa FISIP UI (1983-1984). Dia menjadi Ketua SM di saat pimpinan FISIP UI dianggap dikuasai kaum sekuler anti Islam. Kehadiran Imam memperoleh sambutan karena dia dianggap tidak terkait dengan organisasi ekstra kurikuler seperti HMI, ataupun kelompok-kelompok Islam yang condong pada gerakan radikal Di masa Imam, diskusi-diskusi ilmiah tentang Islam mulai dilakukan di FISIP UI. Imam sendiri adalah pengagum Nurcholish Madjid, intelektual muslim yang pada 1984 baru saja menyelesaikan studi doktoralnya di Chicago.
Nurcholish dianggap sebagai salah seorang pembaharu pemikir-an Islam terdepan, yang pada 1970an mengeluarkan jargon “Islam yes,Partai Islam No”.
Salah satu perkembangan semangat intelektualisme Islam ini terutama terlihat ketika SM FISIP sukses menyelenggarakan sebuah seminar tentang Islam yang bergaung besar, ‘Percakapan Cendekiawan tentang Islam’ (Pedati) pada 1984.
Acara itu berhasil menghadirkan banyak tokoh sarjana muslim terkemuka,seperti Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Jalaluddin Rahmat, Kuntowijoyo, dan sebagainya. Acara yang berlangsung dua hari ini berhasil menarik pengunjung yang berlimpah di gedung pertemuan UI.
Yang menarik, Nurcholish Madjid sendiri dilarang diundang oleh otoritas kegiatan keagamaan di UI karena pemikiran-pemikirannya tentang pembaharuan Islam yang dianggap terlalu kontroversial.
Acara itu dianggap mengubah stigmatisasi terhadap Islam yang semula cenderung dikaitkan dengan radikalisme dan tradisionalisme. Perdebatan di seminar tersebut sepenuhnya bersifat intelektual. Keberhasilan PEDATI pada 1984, menjadikan acara ini sempat dijadikan tradisi kegiatan keIslaman di FISP UI yang berulang setiap tahun.
Keberhasilan PEDATI ini kemudian memberi inspirasi bagi lahirnya berbagai acara sejenis di kampus lain. Bahkan sejumlah pihak menyebut, kegiatan PEDATI bisa dilihat sebagai awal sejarah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia pada 1991. Salah satu peran penting PEDATI adalah mengurangi kecurigaan pada kelompok-kelompok Islam serta memberi contoh tentang format baru gerakan keIslaman yang lebih berorientasi pada kegiatan intelektual dan kultural di perguruan tinggi terbesar di Indonesia.
Di sisi lain, acara ini menjadi semacam sarana pelatihan bagi mahasiswa-mahasiswa Islam yang di belakang hari mejadi penggerak lahirnya kelompok-kelompok Islam politik. Menjadi tradisi di FISIP bahwa acara PEDATI tersebut diselenggarakan oleh mahasiswa tingkat satu dan dua yang dibimbing oleh para seniornya.
Belakangan para mahasiswa yang menjadi panitia acara tersebut berkembang menjadi aktivis yang terlibat dalam gerakan Tarbiyah yang membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia di era 1990an yang menjadi embrio Partai Keadilan dan Partai Keadilan Sejahtera.
Imam Prasodjo dan kawan-kawannya membangun citra baru tentang gerakan Islam di UI, namun kemudian yang paling memanfaatkan ruang yang mulai terbuka itu adalah kelompok Tarbiyah.
Dalam hal ini, gerakan Tarbiyah adalah gerakan yang memusatkan perhatian pada pembinaan dan pendidikan kader-kader muda untuk menjadi bagian dari upaya membangun masyarakat yang lebih Islami.
Pada awalnya gerakan tarbiyah ini terkesan tidak memiliki orientasi politik. Gerakan ini terdiri dari pengembangan forum-forum keagamaan (halaqoh) yang berisi sepuluh sampai dua puluh kader dan dipimpin oleh seorang instruktur agama yang disebut sebagai mentor.
Gerakan Tarbiyah ini cenderung merujuk pada Gerakan Ikhwanul Muslimin (yang berarti persaudaraan umat Islam) dari Mesir, sebuah gerakan yang dipelopori oleh Hasan Al Banna dan Sayyid Qutb. Gerakan Tarbiyah dibawa ke tanah air oleh para mahasiswa yang telah merampungkan pendidikannya di Jazirah Arab.
Berbeda dengan kelompok yang dikembangkan Imam, gerakan tarbiyah ini melihat bahwa yang diperlukan bukanlah gerakan intelektual Islam melainkan purifikasi pemahaman keislaman yang merujuk pada ajaran-ajaran dasar Islam di kalangan muslim terpelajar.
Bagi mereka, jalan keselamatan bagi dunia adalah kembali ke ajaran pokok Islam dengan membangun masyarakat Islam yang hidup dalam semangat persaudaraan Islam.
Salah satu cara paling efektif untuk melakukan Islamisasi masyarakat adalah dengan membangun kader-kader potensial di setiap lembaga strategis.
Mereka memandang perubahan harus berlangsung secara gradual.
Karena itu yang mereka lakukan adalah mengembangkan sel-sel kecil yang terdiri dari kader-kader yang memiliki komitmen dengan dipimpin seorang pembimbing yang beroperasi melalui jaringan dalam struktur yang hirarkis.
Tujuan mereka pada dasarnya politik, walau mereka tidak mengakuinya sebagai demikian.
Pada 1980an itu mereka mulai mengembangkan konsep Dakwah Kampus yang melibatkan sivitas akademika, seperti dosen, mahasiswa, karyawan dan pejabat pengelola kampus.
Gerakan ini memang tidak terlihat mengkhawatirkan karena yang nampak di permukaan adalah bentuk-bentuk dakwah keagamaan yang steril dari politik.
Bahkan dapat dikatakan sebenarnya semula gerakan tarbiyah di UI tidalah sepenuhnya terorganisir. Di kampus, berkembang pengajian-pengajian kecil yang dinamakan halaqah atau liqo.
Pengajian-pengajian ini berkembang tanpa terorganisasi dan berpusat pada aktivis-aktivis mahasiswa individual yang sudah memperoleh pelatihan-pelatihan seperti Latihan Mujahid Dakwah.
Gerakan-gerakan yang menjamur ini akhirnya berusaha dikooptasi oleh kampus yang menjadikan kegiatan keislaman sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa, yang disebut sebagai Lembaga Dakwah Kampus. Sebagai UKM, LDK memperoleh kemudahan izin, bantuan fasilitas dan bantuan keuangan; dengan syarat mereka tidak berpolitik dan tidak mengembangkan ajaran-ajaran yang ekstrem dan radikal.
Fokus mereka adalah pada Dakwah. Sebagai contoh di UI berdiri Forum Studi Islam (FISIP), Studi Terpadu tentang Islam (FE), Forum Studi Dasar Islam (FIB) dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini dijadikan badan kelengkapan mahasiswa yang sejajar dengan Senat Mahasiswa.
Kaum tarbiyah adalah orang-orang yang paling cepat memanfaatkan peluang yang diberikan universitas atau fakultas dengan mengisi kepengurusan lembaga-lembaga tersebut.
Pada 1990an, kelompok-kelompok tarbiyah tersebut sudah mulai menanamkan akar yang kuat di UI, sementara gerakan intelektual yang semula dikembangkan Imam terhenti akibat ketiadaan organisasi dan kaderisasi yang terencana.
Perkembangan tarbiyah di kampus ini kemudian bertemu dengan menguatnya Islam politik di kancah nasional, yang diwakili oleh misalnya kehadiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Walau terkesan sebagai organisasi cendekiawan, dalam perkembangannya, ICMI berubah menjadi organisasi yang berorientasi pada kepentingan kekuasaan politik.
Ini berimbas pada karakter gerakan tarbiyah. Secara perlahan tapi pasti, gerakan tarbiyah muslim semakin mengerucut pada orientasi untuk mencapai kekuasaan politik.
Pada periode 1990an itulah terjadi semangat membangun kekuatan Islam politik di UI melalui pembentukan dan penguatan sel di setiap fakultas. Mereka juga mulai berusaha merebut posisi-posisi penting di dunia kemahasiswaan seperti Senat Mahassiwa.
Perencanaan Islamisasi Indonesia ini diiringi oleh pengembangan organisasi-organisasi di luar kampus. Pada masa itulah, gerakan tabiyah mulai mengembangkan juga gerakan kerohanian Islam di SMA-SMA.
Selain itu ada pula pendirian bimbingan belajar Nurul Fikri (yang belakangan menjadi sekolah formal), lembaga dakwah Khoiru Ummah, majalah Sabili, dan penerbitan buku seperti Gema Insani Press (GIP), Pustaka Al-Kautsar, Era Intermedia, dan Asy-Syamiil.
Di kampus UI, dominasi gerakan Tarbiyah tumbuh tanpa tandingan berarti.
Kelompok Tarbiyah yang semula memulai pengaruhnya di masjid kampus, secara cepat kemudian menduduki jabatan strategis di lembaga-lembaga kemahasiswaan seperti Senat Mahasiswa (SM) atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Ini dimulai sejak terpilihnya Zulkiflimansyah dari Fakultas Ekonomi yang merupakan Aktivis Dakwah Kampus (ADK) sebagai Ketua Senat Mahasiswa (SM) UI pada tahun 1994.
Keberhasilan ini menjadi awal bagi para ADK lain untuk memegang jabatan serupa di periode selanjutnya.
Sampai kejatuhan Soeharto, secara berturut-turut Ketua Senat Mahasiswa UI selalu diisi oleh kader tarbiyah: Kamarudin dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI (FISIP UI) tahun 1995,
Selamet Nurdin dari Fakultas Teknik UI (FT UI) tahun 1996, dan
Rama Pratama dari Fakultas Ekonomi UI (FE UI) pada tahun 1997 hingga tahun 1998.
Kalangan ADK inilah yang kemudian membangun Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia menjelang 1998, yang kemudian menjelma menjadi Partai Keadilan dan Partai Keadilan sejahtera.
PERAN GUMILAR
Ketika Soeharto jatuh, kekuatan pengaruh Tarbiyah terus bertahan di dunia kemahasiswaan UI.
Perwujudan Gerakan Tarbiyah adalah Lembaga Dakwah Kampus SALAM UI (Nuansa Islam UI), sebagai unit kegiatan kemahasiswaan untuk kegiatan keislaman.
Karena konsolidasi yang sudah dilakukan sejak 1990an, SALAM UI menjadi organisasi kemahasiswaan yang terkesan paling terorganisir dibandingkan unit kegiatan lain.
Namun demikian, seperti telah dikatakan, pengaruh mereka sebenarnya sulit untuk mencapai struktur kekuasaan di UI sendiri.
Salah satu periode penting dalam perkembangan gerakan ini adalah ketika Prof. Dr. Gumilar Soemantri (FISIP UI) menjadi Rektor Universitas Indonesia pada 2007-2012.
Gumilar pada dasarnya tidak pernah memiliki karakter khas seorang aktivis muslim. Bahkan dapat dikatakan karakter Gumilar adalah bertolakbelakang dengan karakter kaum tarbiyah.
Sejak mahasiswa Gumilar tak pernah dikenal sebagai aktivis yang memperjuangkan (nilai-nilai) Islam. Ia menanjak kariernya berkat kedekatan dengan Dr. Manasse Malo, mantan Dekan FISIP yang memiliki agenda Kristen sangat kental. Kemudian ia dekat dengan Mochtar Riyadi, pengusaha terkenal yang juga sangat kental agenda Kristennya.
Namun Gumilar adalah politisi lihai. Ia menghimpun dan didukung orang-orang yang membawa agenda Islam politik.
Sentimen keislaman sudah dibangun Gumilar sejak menjadi Dekan FISIP pada 2002. Dalam kampanye Dekan, Gumilar sudah menggunakan isu agama, antara lain dengan menyatakan bahwa FISIP berada di bawah ancaman Kristen.
Salah seorang aktivis yang menempati posisi penting dalam gerakan Islamisasi ini adalah Kamarudin, mantan Ketua SM UI 1995 dan lulusan Departemen Ilmu Politik yang sangat dipercaya Gumilar.
Kamaruddin semula menjadi Manager Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni FISIP UI (2002-2007). Ketika menjadi Rektor, Gumilar menempatkan Kamarudin sebagai Direktur Kemahasiswaan UI.
Dalam kaitan dengan gerakan tarbiyah, Kamarudin menempati peran penting. Ia adalah mantan Ketua Senat FISIP sekitar tahun 1995.
Dalam lingkungan Tarbiyah, Kamarudin berstatus ‘Aktivis Dakwah Kampus Permanen’ (ADKP).
Ia dipandang sebagai tokoh politik yang karena posisinya dalam lembaga struktural tingka tertinggi akan mampu mengarahkan agar UI menjadi kampus Islami.
Ketika ia menempati posisi structural, misalnya, Kamarudddin pernah mengeluarkan kebijakan bahwa setiap peserta mata kuliah Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT) Islam harus juga mengikuti pengajian yang dibimbing para aktivis Tarbiyah.
Di bawah Gumilar, Kamarudin selalu diserahi tugas pada pos kemahasiswaan untuk mengendalikan mahasiswa. Kamaruddin memberi banyak kemudahan bagi kegiatan kemahasiswaan yang terkait dengan Islam.
Di bawah instruksinya, uang bea siswa mahasiswa dari Depdikbud diberikan terlambat tiga-empat bulan, dengan dugaan bahwa uang itu dibungakan di bank untuk kemudian digunakan untuk kepentingan politik Tarbiyah.
Di fakultas-fakultas yang dipimpin para Dekan pro-Gumilar, sang Rektor juga biasa menempatkan aktivis dakwah sebagai Ketua Mahalum (Mahasiswa dan Alumni).
Gumilar terus membangun dukungan kepadanya dengan banyak cara. Misalnya saja dengan mendirikan masjid megah dengan dana Saudi di Salemba. Gumilar juga memutuskan memberikan gelar Honoris causa kepada Raja Saudi, antara lain dengan alasan peran sang Raja dalam membela Palestina.
Apa yang dilakukannya bukannya tanpa kompensasi. Masjid UI diwajibkan untuk mengirimkan nama-nama penceramah dan pemberi khotbah di saat sholat Jumat kepada Kedutaan Besar Arab Saudi.
Ketika mengalami tekanan, Gumilar sempat berinisiatif mendirikan Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace pada 2012. Langkah ini dilakukannya untuk menarik hati komunitas NU secara umum, dan Said Aqil Siradj yang saat itu menjabat sebagai ketua majelis Wali Amanat (MWA) UI pada 2012.
Bertempat di perpustakaan Pusat UI, AWC yang disebut seharusnya berfungsi sebagai pusat riset dan diskusi tidak pernah berjalan dengan efektif.
Gumilar memang akhirnya terpaksa tidak bisa maju kembali sebagai Rektor pada 2012 karena mis-manajemen keuangan yang menyebabkan salah seorang wakil rektor UI harus mendekam di penjara.
Namun dalam lima tahun kepemimpinannya, ia telah menyediakan berbagai posisi struktural di kampus yang diisi oleh kader tarbiyah, memungkinkan direkturnya dosen muda dan pengangkatan Guru Besar yang mendukung Islamisme yang terus berlanjut sampai sekarang.
ORGANISASI
Di Universitas Indonesia, perwujudan Gerakan Tarbiyah adalah Lembaga Dakwah Kampus SALAM UI (Nuansa Islam UI), yang berkantor di Masjid UI Depok.
Struktur organisasi Tarbiyah tertata rapih. Pimpinan Tarbiyah UI (atau SALAM UI) adalah Ketua Majelis Syuro yang adalah seorang mahasiswa senior yang dipilih oleh pengurus Tarbiyah.
Kendati struktur Tarbiyah UI diisi hanya oleh mahasiswa, di atas ketua majelis syuro terdapat struktur yang diisi oleh para alumni dan dosen yang terlibat dalam Jamaah Tarbiyah.
Demikian pula MS juga memiliki hubungan dengan PKS Wilayah Dakwah Jawa Barat. Hubungan dengan PKS lebih bersifat koordinatif.
Keputusan-keputusan penting di kampus diambil oleh MS. Para dosen yang terlibat dalam Jamaah Tarbiyah bertugas untuk mengarahkan agar SALAM UI tetap berada pada tujuan mereka.
Di bawah MS langsung ada tiga divisi utama: kaderisasi, keilmuan dan Barisan Muslimah. Selain itu ada pula divisi-divisi yang bertanggungjawab atas kegiatan lapangan: Syiar, Aksi dan Prpaganda, Sosial Politik (urusan kegiatan BRM), Koordinator Fakultas.
Struktur Tarbiyah ditata rapih, dengan alur koordinasi dan rantai komando yang ketat. Program-programnya berlangsung secara terukur sehingga kegiatannya berjalan optimal.
MS inilah yang menentukan siapa yang akan maju menjadi Ketua BEM di setiap fakultas, dan juga siapa yang menjadi Ketua BEM Universitas. Keputusan MS adalah final dan harus diikuti di semua fakultas. Dalam pemilihan Ketua BEM, setiap kandidat harus diwawancarai dan mengikuti fit and proper test yang dilakukan MS.
Bahkan seandainya ada mahasiswa yang dianggap sebenarnya potensial, namun tidak mendapatkan restu dari MS, nama tersebut tidak akan diajukan.
Di setiap fakultas, kegiatan keislaman dilakukan oleh dua organisasi: musholla dan Lembaga Dakwah Fakultas (yang namanya berbeda-beda antar fakultas), yang dipimpin oleh Mas’ul (pemimpin mahaswa) dan Mas’ulah (pemimpin mahasiswi).
Organisasi di level fakultas ini disebut sebagai Lembaga Dakwah Fakultas. LDK inilah yang mengajukan nama calon Ketua BEM di tingkat Fakultas, namun pada akhirnya harus disetujui MS.
LDK di masing-masing fakultas ini tidak berjalan sendiri-sendiri. Setidaknya satu bulan sekali diadakan rapat koordinasi – dinamakan ‘Sosialisasi Jamaah -- antar LDK di Fakultas. Pada pertemuan inilah, dibicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing fakultas maupun yang berlangsung di tingkat universitas.
Melalui pertemuan tersebut pula, gerak langkah LDK dikoordinasikan.
Barangkali karena kerapihan dan kontinuitasnya, SALAM menjadi satu-satunya alternatif bagi setiap mahasiswa yang ingin atau tertarik mempelajari Islam atau bahkan sekadar tertarik untuk terlibat dalam organisasi yang menyediakan kajian ilmiah, atau diskusi.
Berbagai organisasi alternatif termasuk kelompok-kelompok kajian mahasiswa tidak cukup terjaga staminanya dan timbul tenggelam.
Pengaruh SALAM dalam pemilihan Ketua BEM di UI sangat menentukan. Menurut seorang sumber, sejak awal era Reformasi, hanya tiga kali Ketua BEM tidak datang dari SALAM UI.
Mereka juga berperan dalam menentukan pemilihan BEM Fakultas.
Di sisi lain, perhatian SALAM tidak hanya ditujukan pada penguatan di tingkat organisasi kemahasiswaan.
Mereka juga berupaya agar para kader Tarbiyah masuk ke dalam jajaran pengajar atau bahkan birokrasi kampus. Untuk itu mereka berusaha menguasai posisi-posisi penting dalam birokrasi kampus, seperti Direktur Kemahasiswaan, Direktur SDM dan Direktur Keuangan.
Para pejabat itu akan membantu kelancaran kegiatan mahasiswa yang terafiliasi dengan SALAM UI, memperlancar beasiswa mahasiswa atau dosen muda, serta juga mempermudah karier dosen-dosen yang merupakan kader Tarbiyah.
Dalam hal Guru Besar, sebenarnya pengaruh jemaah tarbiyah tidak besar mengingat mayoritas Guru Besar UI adalah kaum senior yang cenderung sekuler.
Namun segelintir dosen dari garis Tarbiyah yang berada di jajaran Guru Besar dikenal sangat aktif mempengaruhi keputusan-keputusan Dewan Guru Besar UI, misalnya dalam hal menghambat karier pengajar yang dianggap mengancam kekuatan tarbiyah di kampus.
Ini bisa terjadi karena mayoritas Guru Besar sekuler yang lain bersikap apolitis.
Demikian pula, SALAM UI berperan dalam menentukan wakil mahasiswa yang duduk di *Majelis Wali Amanat semacam dewan komisaris UI, yang terdiri dari perwakilan pengajar, birokrat kampus, masyarakat sipil, karyawan dan mahasiswa.
Hampir setiap tahun, wakil mahasiswa di MWA diduduki kader tarbiyah.
BAGAIMANA TARBIYAH MEREKRUT ANGGOTA DAN MENGUASAI BEM
Jamaah Tarbiyah mempunyai sistem rekrutmen yang sistematis.
Mereka bahkan telah mengidentifikasi siswa-siswa unggulan sejak SMA.
Salah satu cara adalah melalu proses bimbingan belajar seperti Nurul Fikri.
Lembaga ini sangat populer dan dikelola oleh para aktivis yang terkait dengan Kammi dan PKS. Para pengelola Nurul Fikri adalah mahasiswa-mahasiswa yang terutama datang dari fakultas-fakultas eksakta. Mereka melatih mahasiswa-mahasiswa yang mereka pandang berpotensi menjadi kader agar bisa lolos ke perguruan-perguruan tinggi negeri, termasuk UI.
Kaderisasi melalui Nurul Fikri ini semakin menguat setelah NF berkembang menjadi sekolah umum.
Jalur lain adalah dengan melakukan perekrutan di tingkat SMA.
Dalam hal ini, para senior dari perguruan tinggi negeri ini akan menjadi mentor bagi siswa-siswa SMA yang terlibat dalam seksi kerohanian Islam (rohis). Sejak SMA, siswa-siswa ini sudah ditanamkan gagasan-gagasan dan nilai-nilai Islamisme. Siswa SMA yang mengikuti kegiatan rohis di SMAnya atau siswa Nurul Fikri dan kemudian melanjutkan pendidikan ke UI, dengan sendirinya akan terdaftar dalam sistem kaderisasi Jemaah Tarbiyah.
Sebagian alumni SMA yang aktif dalam rohis lazim pula bergabung dalam organisasi alumni rohis SMA, yang terus dipelihara hubungannya dengan gerakan Tarbiyah secara luas.
Para alumni ini, pada gilirannya, akan dilibatkan dalam kegiatan tarbiyah di masing-masing kampus, termasuk di UI.
Para alumni rohis ini tentu saja tidak dengan sendirinya menjadi anggota organisasi Islam di fakultas atau universitas.
Tapi biasanya, mahasiswa-mahasiswa ini akan langsung dihubungi SALAM UI begitu mereka sudah menjadi mahasiswa UI.
Rekrutmen di kampus memiliki beragam bentuk. Salah satu keuntungan SALAM UI adalah karena banyak kadernya menguasai BEM, mereka bisa melakukan berbagai kegiatan yang dapat memperkenalkan SALAM UI pada para mahasiswa baru.
Satu bentuk yang paling sederhana adalah setiap tahun SALAM UI membuka rekrutmen anggota baru lembaganya.
Namun ada cara lain di luar pendaftaran langsung tersebut. Misalnya, setiap awal semester ganjil lembaga dakwah pada setiap fakultas mengadakan kegiatan yang ditujukan untuk para mahasiswa baru.
Kegiatan yang dilakukan biasanya berupa camp latihan kepemimpinan. Dari kegiatan ini para senior bisa mengidentifikasi mahasiswa-mahasiswa yang tertarik untuk mengikuti kegiatan Tarbiyah.
Selain itu, lembaga dakwah seringkali mengadakan kajian-kajian yang terbuka untuk umum. Peserta kajian tersebut tidak selalu didominasi oleh anggota tarbiyah.
Banyak pula pesertanya datang dari mahasiswa yang belum bergabung dengan Tarbiyah. Tapi melalui rangkaian kajian yang berulang tersebut, para senior kembali bisa mengidentifikasi siapa yang memang tertarik untuk mengikuti kegiatan Tarbiyah selanjutnya.
Lokasi perekrutan yang paling lazim terjadi adalah di lingkungan musholla. Sebagai contoh seorang mahasiswa yang rajin sholat akan didekati sesama pengunjung musholla yang adalah anggota Tarbiyah. Ini berlangsung karena adanya konsep dakwah fardhiyah yang dipercaya para anggota Tarbiyah yang pada intinya mengajarkan agar setiap individu mempunyai kewajiban dakwah terhadap individu lainnya.
Musholla, dengan demikian, difungsikan sebagai bukan lagi sekadar tempat beribadat, bersholat tapi sebagai tempat diskusi dan rekrutmen. Jadi para senior akan mengidentifikasi para mahasiswa yang soleh berdasarkan kehadiran mahasiswa tersebut beribadat. Mereka yang teridentifikasi ini akan didekati oleh para senior dan diajak untuk terlibat dalam kegiatan keislaman.
Materi diskusi yang dibicarakan juga menjangkau persoalan-persoalan kontemporer , misalnya
soal tantangan era digital bagi kaum muda, atau
soal konsepsi kesetaraan gender dalam Islam.
Diskusi yang berlangsung pun kadang bisa dinamis dan terbuka, walau ini juga bergantung pada gaya pemberi materi dan mentor serta tetap merujuk pada ajaran-ajaran Islam yang cenderung konservatif.
Cara menarik perhatian mahasiswa tidak hanya dilakukan dengan cara serius seperti pengajian dan diskusi. Dari waktu ke waktu, bisa saja LDK sebuah fakultas menyelenggarakan turnamen futsal yang bisa diikuti oleh mahasiswa, terlepas dari keterlibatannya dalam Tarbiyah atau lembaga kerohanian.
Kaderisasi dan proses penanaman nilai-nilai agama juga dilakukan melalui mata kuliah Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT) Agama Islam yang wajib diikuti semua mahasiswa UI semester dua .
Para pengelola maka kuliah agama Islam – yang biasanya berafiliasi dengan Tarbiyah -- menunjuk para senior sebagai pembimbing peserta mata kuliah tersebut. Para senior tersebut akan mengundang siapapun yang tertarik untuk memperoleh materi tambahan untuk mempelajari Islam di luar kelas.
Para mahasiswa baru – atau juga mahasiswa yang sudah menempuh kuliah 3-4 semester – akan dijadikan objek untuk didekati oleh para senior atau anggota Tarbiyah.
Pendekatan dilakukan secara halus. Mereka yang tertarik akan dimasukkan ke dalam atau dibuatkan kelompok-kelompok kecil diskusi yang dipimpin oleh mentor, yang adalah senior mereka, dan merupakan kader tarbiyah. Kegiatan ini dilakukan rutin satu kali seminggu selama satu semester.
Di akhir semester, setiap mahasiswa diminta mengisi form apakah mempunyai keinginan untuk melanjutkan kegiatan mentoring atau tidak.
Mahasiswa yang berkeinginan untuk melanjutkan kegiatan mentoring inilah yang kemudian akan menjadi anggota kelompok-kelompok pengajian yang disebut halaqah atau liqo’.
Pendekatan rekrutmen anggota ini dilakukan secara halus, gradual dan personal. Karena itu banyak anggota halaqah/liqo pada awalnya mengira bahwa dia sedang mengikuti kegiatan bimbingan keagamaan biasa, yang tak ada kaitannya dengan politik.
Seringkali baru setelah sekian lama seorang peserta mengikuti kegiatan, dia menyadari bahwa dia adalah anggota sebuah kelompok eksklusif tertutup yang memiliki agenda politik tertentu.
Dalam setiap halaqah/liqo yang terdiri dari 7-10 orang, terdapat seorang murabbi yang adalah mahasiswa senior yang dianggap memiliki pemahaman Islam yang lebih mendalam.
Dia pada dasarnya tokoh yang harus menjaga kekompakan kelompok dan juga menjadikan anggota kelompok patuh dan loyal pada sistem tarbiyah tersebut. Tidak jarang murobbi tersebut menjodohkan anggota halaqahnya.
Begitu seorang mahasiswa masuk terlibat dan rajin mengikuti kegiatan tarbiyah, dia dengan sendirinya akan terlibat dalam program besar Tarbiyah di UI. Dia akan dilibatkan dalam kegiatan organisasi SALAM UI dan cabang-cabangnya di fakultas. Dia akan dilibatkan dalam program-program pengkaderan tingkat lanjut dengan mengikuti kurikulum pengkaderan yang tersusun rapih. Dia akan terlibat dalam aktivitas-aktivitas Tarbiyah baik di tingkat fakultas, universitas atau bahkan ke luar kampus.
Melalui pertemuan-pertemuan dalam komunitas, para mahasiswa baru diperkenalkan dengan para alumni tarbiyah yang sudah sukses menapak karier di luar kampus.
Kekokohan persatuan tarbiyah dilakukan melalui komunikasi yang intensif melalui beragam sarana sosial, dari WA Group, pengajian sampai rapat-rapat organisasi.
Para anggota Tarbiyah dibina untuk saling peduli. Begitu ada seorang mahasiswa yang tiba-tiba berhenti datang ke pengajian atau diskusi rutin, dia akan terus dihubungi untuk ditanyai alasannya.
Secara umum para anggota Jamaah Tarbiyah diberikan materi terkait keislaman, mulai dari belajar Al quran, aqidah, tauhid, dan lain sebagainya. Pemahaman dasar yang diberikan adalah pemaknaan syahadat, pengenalan Allah, pengenalan Islam, pengenalan Rasul dan pengenalan manusia. Mereka juga diajarkan bagaimana menjadi muslim yang kaffah (utuh), yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan sosial dan negara.
Setelah pemahaman dasar diberikan, setiap kader akan memperoleh materi terkait pemikiran tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin: Hasan Albanna, Sayed Qutub, Hasan at-Turabi, Said Hawwa atau Yusuf Qardawi.
Selama proses pembinaan, setiap peserta akan dinilai oleh murobbi. Sang Pembina ini akan menilai kesiapan para kader dengan menggunakan indikator berupa amalan harian dalam Islam: shalat 5 waktu, malam, puasa sunnah, hafalan Al quran, dan lain sebagainya.
Para kader juga diharamkan berpacaran, meminum alkohol dan merokok. Muorbbi juga mencari tahu perilaku mahasiswa dalam kehidupan keseharian di kampus.
Setiap kader yang memenuhi syarat akan disertakan ke tahap berikutnya, yakni sebuah kegiatan bernama Daurah. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan diluar kampus. Dalam Daurah, si kader mulai memperoleh materi-materi kepemimpinan, urgensi dakwah kampus dan tanggungjawab kaum muda dalam masyarakat Islam.
Seusai Daruah, seorang kader akan mendapat pembinaan baru. Bila sebelumnya seorang mahasiswa berada dalam kelompok yang dipimpin sesama mahasiswa, selanjutnya dia akan dimasukkan dalam kelompok yang dibina seorang ustadz.
Pada titik ini, sang kader mulai mengikuti kegiatan sebagai Aktivis Dakwah Kampus (ADK). Mereka harus mengikuti sekolah atau pelatihan pengkaderan yang berlangsung selama 2-3 bulan.Dalam pelatihan ini ADK dikelompokkan kedalam bidang-bidang yang ada: sosial politik (sospol), syiar, keilmuan, kaderisasi, dan kemuslimahan. Yang memberikan materi pelatihan adalah alumni-alumni UI yang merupakan Jamaah Tarbiyah.
Seusai memperoleh materi umum, para kader akan mendapat pembinaan sesuai dengan materi peminatannya.
Pada pelatihan sospol misalnya, ADK yang mengikuti kelas ini dipersiapkan untuk menjadi calon ketua BEM, tingkat UI ataupun fakultas. Pada kelas syiar (dakwah) para ADK dipersiapkan untuk mengisi kepengurusan lembaga-lembaga dakwah.
Sedangkan di kelas keilmuan, oleh para ADK yang diproyeksikan untuk menjadi mahasiswa berprestasi (mapres).
Baru setelah tahapan persiapan yang matang itulah, seorang kader akan diperkenalkan dengan PKS. Dalam hal ini jemaah Tarbiyah bersikap cukup terbuka. Mereka yang menolak untuk terlibat dalam PKS, tidak akan mendapat sanksi apapun.
Semua bergantung pada kesiapan diri dan preferensi diri masing-masing.
Bahkan setelah menyelesaikan kuliah pun, seorang kader harus tetap terlibat dalam pembinaan mahasiswa di UI. Para alumni itulah yang lazim dimintai untuk datang dan memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru.
Bahkan para alumni UI yang pindah ke kota lain diharapkan tetap terlibat dalam kegiatan jamaah tarbiyah di kota tersebut.
Gerakan Tarbiyah bahkan membina sekelompok mahasiswa berpretasi untuk menjadi ujung tombak mereka. Salah satu lembaga yang dikembangkan untuk melahirkan kader-kader terbaik adalah Rumah Kepemimpinan.
Dewan penasehatnya antara lain: Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin, Prof Dr KH Din Syamsudin, Dr. KH. Muslih Abdul Karim (Anggota dewan Syariah Pusat DPP PKS). Anies Baswedan, dll.
RK memberikan beasiswa selama dua tahun bagi mahasiswa-mahasiswa terpilih. Mahasiswa yang direkrut akan memperoleh uang saku beberapa ratus ribu rupiah per bulan (Rp 300.000 pada 2012, tapi sekarang mungkin sudah lebih besar). Mereka akan memperoleh tempat tinggal gratis, lengkap dengan segala fasilitas listrik-air, computer dan juga makan.
Para mahasiswa RK setiap hari melakukan shalat Subuh dan dzikir bersama, shalat tahajjud bersama, dan mengaji Al Quran. Mereka juga diwajibkan Puasa Senin-Kamis, Selain itu, setiap pekan mereka mengikuti Kajian Islam Pekanan, Dialog Tokoh, dan Kajian Keislaman.
Sedangkan untuk Bulanan ada Sharing Alumni dan juga Dialog Kebangsaan serta kajian tambahan. Untuk program khususnya, ada National Leadership Camp, Kajian Islam Kontemporer, serta latihan kepemimpinan.
Rumah Kepemimpinan didirikan sejak 2002, dan sudah terdapat di sembilan kota.
Sejak 2002-2017, RK sudah membiayai beasiswa 60 mahasiswa UI. Salah seorang di antaranya adalah Faldo Maldini, yang pernah menjadi Ketua BEM dan kini menjadi politisi muda PAN.
Di seluruh Indonesia, yang sudah memperoleh beasiswa mencapai 1049 mahasiswa. Salah satunya Ahmad Zaky, pendiri Buka Lapak
Dengan demikian, terlihat betapa rapih dan sistematisnya pengkaderan jemaat Tarbiyah dilakukan, yang tidak dilakukan organisasi-organisasi lainnya.
Namun gaya pengkaderan semacam ini memang lebih menarik minat mahasiswa di fakultas-fakultas eksakta daripada ilmu humaniora.
Yang menjadi persoalan adalah karakter ilmu yang dipelajari. Seperti dikatakan, para mahasiswa baru akan mengalami indoktrinasi di tahun-tahun awal kuliah oleh para senior/mentor yang sebenarnya tidak terlalu mendalam pemahamannya mengenai isu-isu substantif dalam islam.
Masalah dengan para mahasiswa ilmu-ilmu sosial, dalam perkembangannya, di kelas mereka akan berhadapan dengan tradisi berpikir dan keilmuan yang menuntut kritisisme yang tinggi.
Akibatnya, ketika cara berpikir ini diterapkan dalam pengajian yang diikutinya dalam proses pengkaderan Tarbiyah, ada banyak hal yang tidak bisa dijawab oleh para senior atau murobbi mereka.
Terlepas dari kekurangannya, kaderisasi Tarbiyah ini membuat mereka memiliki peran menentukan dalam politik kampus.
Pengaruh terbesar Tarbiyah di UI terilihat di BEM Universitas dan Fakultas.
Mereka berhasil menguasai lembaga-lembaga strategis seperti Senat Mahasiswa (era Orde Baru) dan kemudian BEM (setelah era reformasi), karena gerakan mereka terorganisasi dan terpusat.
Ada mobilisasi mahasiswa sehingga tingkat partisipasi mereka tinggi dalam proses pemilihan-pemilihan ketua BEM.
Komunitas-komunitas di berbagai fakultas ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka memiliki kesadaran kolektif sebagai kesatuan. Pada dasarnya ada struktur hierarkis di mana jemaah mengikuti tuntunan dan perintah imam.
Sehingga dapat dikatakan sebenarnya saat ini ada semacam pemerintah bayangan di UI, di luar struktur resmi organisasi-organisasi kemahasiswaan.
Jadi, di puncak ada yang seorang imam beserta semacam Majelis Syuro yang membicarakan masalah-masalah UI atau membuat grand strategy untuk menguasai UI
Seperti dikatakan, keputusan untuk mengajukan nama sebagai kandidat Ketua BEM pun ditentukan oleh Majelis dan Imam ini. Jadi tidak boleh ada nama kandidat dari kelompok Islam yang tidak direstui. Kalau tidak direstui artinya akan menghadapi tantangan bahwa mereka tidak akan didukung oleh suara besar.
Kekokohan organisasi yang terstruktur ini yang yang tidak bisa ditandingi oleh kelompok-kelompok mahasiswa non-Tarbiyah.
Suksesi pimpinan BEM UI lazim diwarnai polarisasi antara wakil Tarbiyah dan wakil non-Tarbiyah, yang hampir selalu dimenangkan oleh wakil Tarbiyah.
Di tingkat fakultas, kekuatan komunitas Tarbiyah relatif lebih lemah karena jumlahnya masih bisa ditandingi oleh mobilisasi suara kelompok non-Tarbiyah.
Tapi di tingkat universitas, ketika Ketua BEM ditentukan oleh penjumlahan suara dari banyak fakultas, sangat sulit bagi tim kandidat non-tarbiyah menggalang suara dari seluruh fakultas melawan kandidat Tarbiyah.
Dalam hal ini, mobilisasi suara kaum Tarbiyah terutama terlihat oleh tingginya tingkat partisipasi mahasiswa di fakultas-fakultas yang dikuasai oleh kaum tarbiyah, seperti FMIPA, FT, Fakulutas Farmasi, Fakultas Keperawatan, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat
) MIPA cukup banyak berubah 1 tahun terakhir, Kelompok Merah Putih berhasil menjadi dekan MIPA
Para kader Tarbiyah memandang perebutan kursi kepemimpinan organisasi mahasiswa di kampus sebagai medan jihad mereka dalam menegakkan kebenaran melawan kemunkaran.
Karena itu, para aktivis Tarbiyah bertarung dengan penuh komitmen untuk memenangkan wakil-wakil mereka.
Semangat itu sangat sulit ditandingi oleh kelompok mahasiswa lain yang tidak memiliki sumberdaya dan kader-kader yang memiliki kepedulian politik serupa.
Para wakil tarbiyah saat ini bahkan tidak merasa perlu menutup-nutupi fakta bahwa mereka adalah kandidat tarbiyah.
Dalam kampanye mereka, saat ini lazim pasangan calon yang mewakili Tarbiyah menyebut diri mereka sebagai wakil Tarbiyah. Dominasi para wakil tarbiyah dalam perebutan suara Ketua BEM, pada gilirannya, melemahkan hasrat mahasiswa-mahasiswa non Tarbiyah untuk bertarung memperbutkan kursi kepemimpinan organisasi tersebut.
Ada semacam perasaan kalah sebelum bertanding. Ini misalnya ditunjukkan oleh fakta bahwa pada 2012, 2014 dan 2015, pemilihan ketua BEM UI diikuti hanya oleh calon tunggal yang adalah wakil dari kelompok Tarbiyah.
Pada pemilihan Ketua BEM, 2018-2019, yang maju bertarung adalah dua kandidat yang sama-sama datang dari komunitas tarbiyah. Yang membedakan hanyalah, yang satu (Alfian Tegar Prakarsa) adalah calon yang diajukan oleh Mejelis Syuro, sementara kandidat yang lain (Manik Marganamahendra) tidak diajukan oleh MS. Secara mengejutkan, yang memenangkan pertarungan adalah Manik.
SEJUMLAH PERUBAHAN
Dalam beberapa tahun terakhir, berlangsung perubahan yang menunjukkan adanya upaya untuk menghambat penguatan Tarbiyah di kampus UI. Ini terkait dengan suasana politik terutama setelah Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017 yang menunjukkan polarisasi Islamisasi politik di tingkat nasional.
Nampaknya ada kesadaran bahwa kekuatan kaum Islamis telah menyebar ke berbagai wilayah kehidupan, termasuk ke dalam kampus-kampus terkemuka, dan perkembangan ini menciptakan polarisasi dalam masyarakat serta mengancam kampus sebagai lemaga ilmiah.
Salah satu faktor penting adalah pernyataan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Hamli pada Mei 2018 yang menyatakan bahwa hampir semua kampus perguruan tinggi negeri, termasuk Universitas Indonesia, telah terpapar ajaran radikalisme.
Ini mendorong lahirnya reaksi di dalam kampus UI. Banyak pihak memandang pernyataan BNT tersebut sebagai berlebihan. Namun tidak sedikit pula yang memandang bahwa pernyataan itu merupakan peringatan yang penting agar UI melakukan penertiban.
Apalagi pada 2 Februari 2018, berlangsung aksi Ketua BEM UI 2017-2018, Zaadit Taqwa mengangkat kartu kuning pada Jokowi di saat Dies Natalis UI 2 Februari.
Dapat dikatakan sejak 2018, pimpinan universitas melakukan langkah-langkah yang dapat dipandang sebagai de-radikalisasi (atau de-Islamisme) UI.
Dekan FMIPA yang sebelumnya dipegang oleh Islamis, kini diambil alih oleh seorang pluralis.
Majelis Wali Amanat 2019-2024 didominasi tokoh-tokoh yang dekat dengan Presiden Jokowi, antara lain: Saleh Husin (ketua), Erick Tohir, Prof. Bambang Borjonegoro dan Sri Mulyani.
Wajahnusantaraku.com - Tumbuh pula gerakan-gerakan masyarakat sipil seperti Aliansi UI anti Intoleransi, yang diketuai Donny Gahral - yang berusaha melakukan lobby dan aksi-aksi politik untuk mendukung terpilihnya kalangan pluralis ( Merah Putih ) di jabatan-jabatan strategis di jajaran kepemimpinan UI dan fakultas-fakultasnya.PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN GERAKAN ISLAMIS-TARBIYAH
DI UNIVERSITAS INDONESIA
Ade Armando
Universitas Indonesia
Artikel ini pada intinya berusaha menggambarkan perkembangan gerakan Islamis-Tarbiyah yang mengandung muatan anti pluralisme dan anti keberagaman di Universitas Indonesia.
Akan digambarkan bagaimana perkembangan gerakan ini sudah berlangsung dalam periode yang panjang, dimulai pada era Orde Baru, dan kini sudah menancapkan akar yang kuat di UI.
Namun demikian, kehadiran gerakan islamis-Tarbiyah ini tidak dapat dikatakan sebagai mendominasi seluruh struktur politik di UI. Gerakan ini terutama kuat di kalangan mahasiswa dan pengajar muda.
Namun mereka tidak sepenuhnya mendominasi sebagai kekuatan tunggal, karena terus berhadapan dengan budaya keilmuan dan politik UI yang sekuler.
Kekuatan Islamis-Tarbiyah ini tidaklah berkembang secara mandiri dan steril dari dinamika politik ekstra kampus. Bahkan dapat dikatakan gerakan Islamis-Tarbiyah ini sekadar merupakan perpanjangan tangan kekuatan politik di luar kampus, terutama PKS.
Dalam lebih dari 20 tahun, mereka telah berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang paling terkoordinasi dan menjaring di UI.
Pemilihan Ketua BEM UI hampir selalu dimenangkan ut
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN GERAKAN ISLAMIS-TARBIYAH DI UNIVERSITAS INDONESIA"
Post a Comment