Ahmad Yani : Di Indonesia Tidak ada Radikalisme Itu Rekayasa Politik
KAIROSPOS.COM, Jakarta – Budaya Indonesia tidak mengenal radikalisme, Ahmad Yani mantan anggota DPR PPP yang dipecat oleh Ketum PPP oleh Romahurmuzy (Romi) karena perbedaan pendapat. Ahmad Yani menceritakan sejak kecil dia sudah bergaul akrab dengan warga keturunan Tionghoa di Palembang tidak ada masalah semuanya rukun dan damai saja tapi sejak sikap Represip Orba, masuknya faham Wahabi dari Arab, banyak pihak memanfaatkan kaum radikalis untuk mendapatkan keuntungan dan suara dia berkata "Pertikaian hanya di tingkat elite untuk mendapatkan kekuasaan semua pihak bermain, ini off the record akhirnya masyarakat yang menjadi korban" ungkapnya.
Ahmad Yani menyoroti bahwa radikalisme tidak terlepas dari adanya penciptaan dari negara-negara besar. Radikalisme yang berujung teroris lebih pengertian penyebaran bibit permusuhan. “Dulu dalam sejarah Indonesia bahwa dulu dikenal gerakan ekstrim kanan bukan radikalisme teroris. Memang belakangan muncul ketika bom BCA terus Bali baru teroris menguat di Indonesia,” paparnya.
Lebih jauh kata Yani, boleh saja semua menyangkut radikalisme. Tapi mengutip Hasym Muzadi kalau ada radikalisme agama tapi bisa juga lebih bahaya radikalisme sekuler. “Memang bahwa tidak boleh ada radikalisme apapun di Indonesia. Karena sudah sepakat bahwa jalan tengah adalah Pancasila,” tegasnya.
Selanjutnya menurut Yani terkait radikalisme dan teroris lebih ke ada persoalan mendasar yang tidak terpenuhi di negara ini terkait pencerdasan, kesejahteraan dan lainnya.
“Sebagian besar persoalan bangsa kita ini adalah karena berkaitan partai politik. Inti persoalan kita adalah partai politik. Silahkan ditulis. Kedua biaya politik di Indonesia sangat tinggi,” tegasnya. Bahwa sekarang pragmatisme poltik itu terjadi.
Vox Point Indonesia (VPI) kembali menyelenggarakan diskusi dengan topik: Memilah Gerakan Radikal dan Oposisi dengan menampilkan pemateri Ahmad Yani (pengacara dan DPR 2009-2014), Prof Dr R Siti Zuhro (Peniliti LIPI), MA dan Dr Syahganda Nainggolan (Aktivis) di Gedung Sanggar Pratiwi, Pasar Baru, Jakarta Pusat Selasa (29/10).
Sementara Prof Siti Zuhro menegaskan bahwa Indonesia ini sudah Bhinneka Tunggal Ika sejak dulu. “Itu sudah pemberian (given) dan itu sudah tidak diragukan lagi,” ujarnya. Dari sudut pandang Islam bahwa harus dihentikan stigmatisasi Islam. Semua agama mengajarkan kebaikan.
Ia juga menyoroti bahwa tidak perlu risau dengan politik identitas karena setiap orang memang punya identitas yang tidak bisa ditutup-tutupi. Politik identitas jika dieksploitasi dan dimanipulasi untuk kepentingan kelompoknya tidak dibenarkan.
Radakalisme adalah paham yang merubah secara kekerasan dan drastis. Radikalisme politik memang berbahaya dalam tatanan negara. Munculnya radikalisme politik akibat ada pandangan gagalnya pemerintah, sehingga perlu merubah sistem. Kemudian adanya ketimpangan sosial, juga pengaruh dunia internasional daan lainnya.
“Pilihan bernegara Pancasila adalah pilihan baik, setidaknya menurut saya. Karena disana juga buka ruang untuk menjalankan agama. Politisasi agama dalam pileg dan pilpres masih tahap wajar,” ujarnya.
Pandangan agak berberbeda diungkapkan Syahganda Nainggolan. Tema radikalisme dan oposisi memang agak berat dibahas. “Apalagi saya sendiri saya orang radikalisme dan oposisi, saat aktivis di ITB saya dipecat dan dipenjara empat kali,” tegasnya. Bagi dirinya tidak masalah radikalisme.
Soal radikalisme ini sebenarnya yang terpenting adalah tujuannya apa? Harus dibedakan radikalis dan ekstrimis.
Diskusi Pendidikan Politik Seri 4 Vox Point Indonesia langsung dipandu Ketua Umum Vox Point Indonesia Handoyo Budisejati.
0 Response to "Ahmad Yani : Di Indonesia Tidak ada Radikalisme Itu Rekayasa Politik "
Post a Comment