Buku "Duka dari Nduga" Ungkap Tabir Gelap Papua
KAIROSPOS.COM, Jakarta – Persoalan kemanusian di Papua seperti tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Buku "Duka dari Nduga" menceritakan kisah nyata yang dialami penulis Kristin Samah penulis buku ini. Kisah pilu, kemiskinan, kekerasan dirangkai dengan apik oleh mantan wartawati Suara Pembaruan ini. Banyak pertanyaan yang diberikan narsum pada hadirin berubah jadi curhat masyarakat Papua yang hadir atau para aktifis yang bertugas di Papua.
Buku ini diterbitkan Gramedia Pustaka Utama dan resmi meluncurkan buku “Duka dari Nduga” pada hari Rabu (30/10), bertempat di Grha Ouikumene-PGI, Salemba, Jakarta Pusat. Tampil sebagai narasumber dan pembedah yakni Direktur Eksekutif Amnesti Usman Hamid, Anggota MRP Perwakilan Nduga Louis Maday, Aritonang dan Kristin Samah.
Usman Hamid dalam pandangannya memaparkan bahwa persoalan kemanusian di Nduga belum menjadi perhatian serius pemerintah. “Harapan untuk pemerintahan Jokowi bagi orang Papua tinggi, tetapi secara esensi tidak terjadi. Bahkan kunjungan terakhir diharapkan ketemu pengungsi tetapi tidak terjadi,” katanya.
Faktanya memang ada 5000 orang pengungsi di kampung halamannya sendiri. Dan menurut berbagai laporan sudah 180 orang meninggal.
Buku ini sangat bagus menggambarkan sisi kemanusian yang terjadi di Papua. Ini tidak hanya menarik dibaca tetapi buku ini bisa jadi rujukan untuk kenyataan Papua.
Sedangkan Louis Maday menyoroti bahwa perintah presiden tentang penerikan pasukan bisa dibatalkan bawahan. “Kita ingin membangun solidaritas kemanusian itu penting. Dengan demikian kita harapkan presiden bisa lebih memberikan perhatian,” ujarnya.
Buku karya Kristin Samah ini berkisah tentang seorang perempuan penyintas kekerasan seksual, yang secara tidak langsung berkaitan dengan peristiwa kekerasan dan pembunuhan di Kabupaten Nduga, Papua, pada periode berbeda-beda.
“Selama dua tahun terakhir, kekerasan dan konflik di Kabupaten Nduga bisa dikatakan menjadi letupan yang kemungkinan akan muncul lagi di daerah lain di provinsi itu. Bertemunya kepentingan politik lokal, politik nasional, bahkan seperti dikatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, masuk juga politik internasional. Kelindan persoalan ini tidak akan bisa mudah diselesaikan bila akar persoalan tidak disentuh sama sekali,” tutur Kristin, pada Prolog buku Duka dari Nduga.
“Buku ini dipersembahkan untuk orang-orang yang bekerja demi memuliakan kemanusiaan. Penghormatan pada para pekerja kemanusiaan yang oleh sebab konflik, terpaksa menjadi korban kekerasan brutal. Benar bahwa mengangkat senjata untuk merampas hak hidup orang lain adalah kejahatan sadis. Namun, penjahat sesungguhnya adalah orang-orang yang menjual ketidakmampuan orang lain untuk meraih keuntungan diri sendiri atau kelompok,” lanjutnya.
Duka dari Nduga adalah upaya Kristin untuk bisa menyampaikan potret terkini di Papua kepada masyarakat. Berbagai hal ia tuliskan apa adanya, dengan harapan dapat menciptakan keterbukaan untuk penyelesaian pemasalahan yang terjadi di sana. Tetepi, walaupun ditulis berdasarkan kisah nyata, beberapa nama sengaja disamarkan atas permintaan narasumber dengan pertimbangan keamanan. Beberapa nama daerah juga tidak disebut secara langsung untuk menghindari kemungkinan sentimen suku. “Ada kisah pilu tentang kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang hanya bisa diselesaikan dengan duduk bersama, saling mendengar, saling mengakui, dan saling memaafkan sebagai sesama anak bangsa. Sudah pasti keras di awal, namun bila dilakukan terus-menerus, tidak ada hati yang tak luruh bila bahasa yang digunakan adalah cinta kasih,” tambah Kristin.
Buku Duka dari Nduga saat ini sudah tersedia di berbagai toko buku dan toko buku online di seluruh Indonesia. Pada acara hari ini, selain peluncuran buku, juga diadakan bincang buku untuk mengulas isi buku lebih dalam bersama Asisten Operasi Kapolri, Irjen Martuani Sormin Siregar, Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, Anggota MRP Perwakilan Nduga,Louis Maday, serta Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus, dengan dipandu moderator Ronald Rischardt, Biro Papua dari PGI.
Wisnu/GPU mengomentari buku "DUKA DARI NDUGA" karya Kristin Samah "Berbeda pendapat dengan pemerintah tidak diturunkan secara genetik. Seorang penyandera tidak otomatis menurunkan anak-anak yang akan menyandera orang lain. Cerita kekerasan yang dikisahkan dari mulut ke mulut, turun-temurun, itulah yang membuat trauma dan dendam terpelihara. Duka dari Nduga berkisah tentang seorang perempuan penyintas kekerasan seksual. Apa yang dia alami secara tidak langsung berkaitan dengan peristiwa kekerasan dan pembunuhan di Kabupaten Nduga, Papua, pada periode berbeda-beda. Selama tiga tahun terakhir, jumlah korban meninggal dunia mencapai 28 orang" kata dia.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International berpendapat “Buku ini mengisahkan sebuah tragedi kemanusiaan di Nduga, Papua, dengan cara yang penuh empati. Kekerasan itu dilakukan oleh Instrumen negara bukan oknumnya. Usman mencontohkan ketika menginvestigasi kasus memilukan G30S PKI. Ketika saya menayakan pada pelaku mengapa melakukan tindakan keji, pelaku mengatakan PKI itu kejam jadi saya gorok lehernya, jadi kekerasan melahirkan kekerasan yang tidak ada habisnya” Kata dia.
Selanjutnya Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan 2015-2019 berpendapat “Sebagian besar penyintas kekerasan seksual enggan melaporkan kasus yang dialami karena minim dan bahkan tidak memiliki perspektif korban yang dampaknya justru akan mengalami kekerasan berlapis. Penulis mampu membawa korban ke wilayah rasa percaya dan nyaman. Ia terlibat dalam upaya pemulihan bagi korban dalam makna luas dan hanya dapat dilakukan karena punya keberpihakan pada korban dan rasa cinta yang dilandasi oleh iman.”
0 Response to "Buku "Duka dari Nduga" Ungkap Tabir Gelap Papua"
Post a Comment