KAIROSPOS.COM, Jakarta - Pewarna Indonesia kembali menghadirkan diskusi menarik terkait Otonomi Khusus Papua pada hari Jumat (12/03/21) melalui zoom. Dalam diskusi ini menghadirkan narasumber Yan Permenas Mandenas, S.Sos., M.Si., Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Laksamana Madya TNI (Purn.) Freddy Numberi Tokoh Papua dan Mantan Gubernur Papua, Budi Arwan, S.STP., M.Si. Kasubdit Provinsi Papua dan Papua Barat pada Dit. Penataan Daerah Otsus dan DPOD Ditjen Otda Kemendagri, Theofransus Laurens Alexander Litaay, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, Kedeputian V Ketua Pokja Papua, Ps. Louis M. Pakaila dari PMKIT, Fredrik J. Pinakunary Ketua Umum PPHKI, Richard Mayor Ketua Pengurus Daerah Papua PEWARNA Indonesia dengan moderator Ashiong P. Munthe Jurnalis Pewarna Indonesia.
“Otonomi Khusus Papua bukanlah lahir serta merta karena hati baiknya pemerintah Indonesia, No. Ini perjalanan panjang yang berdarah-darah, orang Papua, baru lahirnya otonomi khusus ini. Jadi orang jangan berpikir, itu hadiah pemerintah Indonesia, no. Ini adalah suatu perjalanan panjang, mulai resolusi PBB No. 2504 (XXIV) 29 November 1969. Dengan catatan khusus: That the go in implementing its national development plan, is giving special attention to the peoples and their specific conditions. Atau terjemahan bebasnya Pemembrintah Indonesia memberikan atensi khusus kepada rakyat Papua dengan memperhatikan kondisi khusus mereka, berarti budayanya, kulturnya dan sebagainya. 84 negara setuju Papua miliki Indonesia, abstain 30 negara, tidak hadir 12 negara, dan tidak setuju nihil”, jelas Laksamana Madya TNI (purn) Freddy Numberi yang pernah juga menjabat sebagai Gubernur Papua.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Italia dan Malta serta mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini, membeberkan permasalahan yang masih terjadi terkait otonomi Khusus Papua, diantaranya: “masih banyak komponen bangsa dalam lingkup lokal (Papua) maupun nasional (Indonesia) yang belum memahami secara benar hakikat OTSUS Papua. Hal ini terbukti dari adanya berbagai persepsi, bahkan kebijakan yang keliru dari dari berbagai pihak (Elit politik, praktisi, akademisi, maupun masyarakat awam) terhadap substansi undang-undang tersebut. Adanya kebijakan Pemerintah pasca berlakunya OTSUS Papua yang kontradiktif”.
Demikian juga, lanjutnya, “masih lemahnya kualitas dan kuantitas instrumen hukum pelaksanaan UU OTSUS sebagai landasan taktis dan teknis dalam implementasi kebijakan OTSUS Papua. Selama 10 (sepuluh) tahun implementasi OTSUS Papua perangkat hukum pelaksanaan dalam bentuk PERDASI dan PERDASUS tidak ada agenda penyususnan. Padahal UU OTSUS Papua mengamanatkan minimal pembuatan 17 PERDASI dan 11 PERDASUS”.
Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ini, mengungkapkan harapanya “Harapan ke depan bahwa dalam periode Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin 2019-2024, masalah-masalah yang berkaitan dengan Otonomi Khusus Papua dapat diselesaikan dengan baik dan Otonomi Khusus Papua Jilid II dapat mengakomodir pertumbuhan ekonomi kerakyatan Orang Asli Papua (OAP) lebih baik dengan pertumbuhan sentra-sentra ekonomi yang berbasis pada antropologi-budaya di Tanah Papua”.
Theofransus Litaay, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, Kedeputian V Ketua Pokja Papua, menyampaikan bahwa Otonomi Khusus Papua tidak berakhir yang ada hanya evaluasi sebagai mekanisme biasa yang dilakukan. ”Undang-undang 21 tahun 2001 sudah di sudah di laksanakan pada saat ini. Sampai dengan saat ini masih tetap berlaku. Undang-undang 21 2001 itu tentang otonomi khusus Papua itu tetap berlaku. Pasal 34 memberikan amanat untuk evaluasi pada tahun ke-20 terhadap skema dan dana transfer dalam rangka otonomi khusus yang kita kenal sebagai dana Otsus”.
Ketua Yayasan Bina Darma ini, melanjutkan “yang perlu untuk kita pahami bersama bahwa status otonomi khususnya tidak berakhir. Jadi yang terjadi hanya mekanisme biasa saja untuk evaluasi terhadap proses penganggaran itu. Pada tahun ke 25 dan 26 itu juga ada evaluasi terhadap dana transferi infrastruktur. Jadi ini mekanisme yang memang berjalan secara normal”.
“Beberapa hal yang terkait dengan arah perubahan revisi Undang-undang nomor 21 tahun 2001 utamanya adalah terkait dengan masa berlaku dana Otsus. Otsus tidak ada jilid 1 atau jilid 2 dan sebagainya. Selagi Undang-undang nomor 21 tahun 2001, maka Otsus masih ada, itu tidak akan pernah berakhir. Namun, yang berakhir itu adalah terkait dana Otsus yang besarnya setara dengan 2% Dana Alokasi Umum (DAU) nasional di tahun 2021 ini. Ketika tidak direvisi UU nomor 21 tahun 2001 ini, maka tidak tidak akan ada cantolan hukum untuk menganggarkan dana Otsus untuk Papua dan Papua Barat. Usulan dari pemerintah yang akan diputuskan bersama dengan DPR dana Otsus 2% menjadi 2,25%. Tentunya penambahan ini harus dibarengi dengan perbaikan tata kelola, sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh Presiden, bahwa perlu adanya perbaikan tata kelola”, papar Budi Arwan, Kasubdit Provinsi Papua dan Papua Barat pada Dit. Penataan Daerah Otsus dan DPOD Ditjen Otda Kemendagri.
Anggota DPR RI, Yan Permenas Mandenas, menyampaikan bahwa tidak ada inisiatif pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong percepatan pembahsan perubahan undan-undang Otsus. Menurut Politisi Gerindra ini, pada bulan April hingga Mei ini sudah harus elesai pembahasan Otsus.
Menurut Yan, sampai saat ini yang menjadi prioritas dan penghamat strategi pembangunan di Papua adalah pelanggaran HAM yang masih terus terjadi. Bahkan hal ini sudah mendunia. Selain penyelesaian pelanggaran HAM, pemerinthan pusat harus melakukan supervisi dalam pengelolaan tata kelola pemerintahan tingkat Provinsi hingga Kabupaten/Kota, perlu ada pendampingan agar pemerintah daerah bisa konsisten dengan apa yang menjadi harapan masyarakat Papua, karena pemerintah pusat tidak konsisten dalam mengawal pelasanaan Otsus di Papu. Masih ada indikasi peyelewenangan penggunaan keuangan yang terjadi di Papua dan sepertinya ada pembiaran dari pemerintah pusat.
Pengacara sekaligus Ketua Umum PPHKI, Fredrik J. Pinakunary, memberikan usulah bahwa tema yang paling tepat untuk pembahasan ini adalah “Dana Otsus Papua”, karena terkait Otsus sudah berlaku sejak tahun 2001 dan masih berlaku sampai sekarang, tidak ada masalah dengan Otsus.
Menurut Fredrik J. Pinakunary pemerintah gagal paham, karena orang Papua dianggap sering berbicara angka, sehigga ada peningkatan dana Otsus dari 2% menjadi 2.25%. “Persoalan yang diributkan selama ini bukan semata-mata uang, tetapi masalah yang lebih besar lagi daripada sekedar uang. Dasar pertimbangan UU Otsus, bahwa penyelenggaran Pemerintah dan pelaksanaan Pembanguna di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya merasakan keadailan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya Kesejahteraan Rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya menampakan penghormatan terhadap HAM bagi orang Papua. Artinya UU Otsus ini ada bukan semata-mata soal uang tetapi ada masalah-masalah besar, seperti yang sudah disampaikan”, jelas putra Sorong ini.
Ps. Louis M. Pakaila menyatakan banyak menerima masukan, antara lain, bahwa jikalau dibiarkan akan menjadi konflik baru di tengah masyarakat. Pemicunya adalah Doktrin yang dibawa oleh agama yang datang ke suatu daerah nonmuslim. Kebiasaan orang Papua adalah makan babi. Seorang anak Papua sejak lahir itu sudah kenal dengan minyak babi. Dari beberapa masukan dari hamba Tuhan, bahwa muncul Kebiasaan baru yang mengharamkan babi. Hal ini menekan perasaan orang Papua.
Ada cerita menarik, anak-anak Papua yang diambil dari orang tuanya, lalu di bawa ke di Jawa. Mereka di sekolahkan di sekolah-sekolah agama. Tentunya tidak bisa dibedakan aliran agama mana yang diajarkan kepada mereka. Saat mereka kembali ke Papua, anak-anak ini mulai protes dengan gaya hidup yang lama dalam lingkungan dan tetangga masyarakat sekitar. Mereka mulai tidak toleran terhadap keadaan sekitarnya apa lagi makan babi. Hal ini menjadi catatan tersendiri, karena bisa menjadi pemicu atau duri dalam daging bagi masyarakat Papua di kemudian hari.
Ps. Louis M. Pakaila, setuju dengan dibuat pusat pemeliharaan babi yang terbesar di Papua dengan melibatkan masyarakat. Membuat peternakan yang luar biasa besar, seperti di Pulau bulan di seberang Singapura. Indonesia adalah export daging babi yang terbesar untuk Singapura dan Thailand, tetapi tidak pernah itu dicatat sebagai suatu prestasi, karena itu adalah bisnis yang tidak berkenan bagi kebanyakan orang Indonesia. Papua juga punya potensi buaya yang luar biasa banyaknya, mungkin di dunia, Papua banyak buaya, bisa juga dikembangkan untuk peternakan buaya dengan melibatkan masyarakat.
Lebih lanjut Pakaila, bahwa ada banyak yang terjadi, tiba-tiba berdiri satu Mesjid dan Pesantren besar di tengah-tengah masyarakat Kristen. Masyarakat tidak bisa protes, namun di dalam hati mereka, menyimpan sesuatu yang tidak berkenan. Ada pemaksaan suatu ajaran yang baru, perlu dipertimbangkan. Bahkan ada pernyataan dari salah satu ulama yang viral, bahwa Papua harus dijadikan sebagai Provinsi Islam, seperti Aceh. Jikalau ini dipaksakan, maka hal ini bisa menjadi tidak kondusif.
Richard Mayor, Ketua Pengurus Daerah Pewarna Indonesia Papua, memparkan bahwa Otsus tidak hanya masalah uang, tetapi harus melihat dugaan pelangaran HAM yang sering terjadi di Papua. Perlu ada tindakan dari pemerintah pusat terkait dengan pengusutan secara tuntas terhadap dugaan pelangar HAM. Pemerintah daerah tidak boleh menjadi raja-raja kecil yang mengelola dana Otsus untuk memperkaya diri sendiri.
(Ashiong P. Munthe, Litbang Pengurus Pusat Pewarna Indonesia).
0 Response to "DINAMIKA DANA OTSUS PAPUA"
Post a Comment