KAIROSPOS.COM, Jakarta, – Institut Leimena bersama Sekolah Kristen IPEKA, Sekolah Kristen Gloria, dan Sekolah Kristen Tritunggal mengadakan pelatihan internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) kepada 170 guru dari ketiga sekolah tersebut. Pelatihan yang digelar secara daring pada 27 Februari – 3 Maret 2023 bertujuan membangun pemahaman dan sikap untuk berelasi di tengah masyarakat multireligius, serta mendorong kolaborasi untuk kebaikan bersama.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan kelas pengenalan LKLB minggu ini merupakan kelas Angkatan ke-27 sejak Institut Leimena meluncurkan program LKLB pada Oktober 2021. Jumlah alumni pelatihan daring LKLB sejauh ini sudah mencapai setidaknya 3.300 guru/penyuluh agama dari 34 provinsi di Indonesia.
“Kelas kali ini adalah yang pertama kali untuk guru-guru sekolah Kristen karena 26 kelas sebelumnya diperuntukkan bagi guru-guru madrasah, pesantren, dan penyuluh agama Islam,” kata Matius saat sesi pembukaan, Senin (27/2/2023).
Matius menjelaskan LKLB adalah kerangka sederhana untuk mengembangkan kompetensi dalam berelasi dengan orang lain yang berbeda agama. LKLB menekankan pentingnya kita memahami diri sendiri termasuk agama dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan kita dengan orang lain (kompetensi pribadi).
Selain itu, bagaimana kita memahami orang lain sebagaimana dia memahami dirinya sendiri termasuk agama dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan mereka dengan kita (kompetensi komparatif) dan memahami konteks potensi kolaborasi antara aktor-aktor yang berbeda keyakinan (kompetensi kolaboratif).
“Agar pendekatannya lebih praktis dengan contoh, maka program ini melibatkan para narasumber dari tiga agama Abrahamik yaitu Kristen, Islam, dan Yudaisme yang memang memiliki banyak persamaan sekaligus perbedaan mendasar. Tidak jarang konflik besar justru terjadi diantara mereka, sehingga agama-agama Abrahamik dapat menjadi contoh yang baik untuk mengenal pendekatan LKLB,” kata Matius.
Menurut Matius, tantangan hidup dalam keberagaman tidak hanya dihadapi oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga berbagai negara pada umumnya. Itu sebabnya, konsep LKLB semakin penting khususnya di Indonesia sebagai bangsa berpenduduk sangat besar dan religius dengan berbagai agama dan kepercayaan.
Matius mengatakan hal yang terdengar sederhana seperti bekerja sama dengan orang berbeda agama ternyata tidak selalu mudah dilaksanakan. Seringkali ada kecurigaan karena agama begitu penting bagi seseorang, serta kadang ada yang merasa bahwa jika agama berbeda maka sulit untuk saling percaya untuk melakukan hal penting bersama-sama.
Matius menyadari kemampuan bekerja sama dengan orang berbeda agama tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus terus menerus diupayakan dan dilatih dengan sikap rendah hati.
“Program kali ini boleh dikatakan istimewa bagi saya, karena memang sejak lama kami di Institut Leimena dan saya pribadi berupaya memikirkan bagaimana umat Kristen dapat terus terlibat secara aktif dan setara sebagai warga negara dalam membangun bangsa dan negara ini,” ujarnya.
*Bukan Kompromi Iman*
Direktur Utama Sekolah Kristen IPEKA, Pdt. Handojo, berharap pelatihan pengenalan LKLB bisa memfasilitasi guru-guru Kristen untuk memahami berbagai agama, sehingga dapat mengembangkan dan mengajarkan sikap toleransi yang tepat kepada peserta didik. Handojo menyebut semua golongan agama memiliki orang yang bersikap toleran maupun radikal, sehingga LKLB dibutuhkan untuk menjaga NKRI.
“Ini (LKLB) menjadi suatu yang penting karena mau tidak mau kita melihat negara kita pluralisme secara empiris, sehingga kita perlu mengembangkan diri untuk pluralisme yang dihargai dalam kehidupan bersama di Indonesia,” kata Pdt. Handojo.
Handojo menegaskan sikap toleransi bukan berarti kompromi iman. Di sisi lain, Amanat Agung sebagai amanat pemuridan, berjalan beriringan dengan toleransi karena tidak dilakukan berdasarkan paksaan tetapi kesadaran akan kasih dan kebaikan Tuhan. Tuhan Yesus dan para murid juga memberikan teladan sikap toleransi dengan memandang orang lain tanpa merendahkan.
“Ini menjadi dasar ketika kita hidup dengan orang lain. Apa pun agama dan latar belakang seseorang, kita harus menganggap mereka seorang yang harus dihargai,” kata Pdt. Handojo.
Koordinator Umum Yayasan Pendidikan Kristen Gloria, Yana Poedjianto, mengatakan sekolah-sekolah Kristen terpanggil untuk mendidik generasi muda menjadi garam dan terang dunia.
“Di tengah keterbatasan kita, kadang kita menjadi salah mengerti agama lain, bahkan was-was sehingga kita membutuhkan program ini untuk belajar. Kita rindu diberikan pencerahan supaya kita dan anak-anak didik kita diperlengkapi hidup di tengah masyarakat majemuk,” kata Yana.
Kepala Sekolah SMA Kristen Tritunggal, Semarang, Liem Rachel Octavia Christina, mengajak rekan-rekan guru memanfaatkan kesempatan pelatihan LKLB untuk mendapatkan wawasan baru sebagai bekal untuk kehidupan Indonesia yang beragam. “Kita tidak bisa menuntut atau berharap lingkungan kita selalu sama atau homogen. Justru ketika Tuhan mengizinkan kita berada dalam lingkungan beragam maka di situlah kesempatan kita lebih lagi membagikan kasih Kristus dan menjadi teladan,” kata Rachel.
Kelas pelatihan LKLB untuk guru Kristen ini menghadirkan narasumber antara lain Pdt. Ferry Mamahit (Dosen STT Seminari Alkitab Asia Tenggara), Prof. Alwi Shihab (Senior Fellow Institut Leimena), Prof Amin Abdullah (Guru Besar Filsafat UIN Sunan Kalijaga), Dr. Chris Seiple (Senior Fellow University of Washington), Rabi David Rosen (Direktur Internasional untuk Hubungan Antar Agama American Jewish Committee), dan Yosie Pauline Modo (Direktur Pelaksana Sekolah Kristen Kalam Kudus, Dumai). (IL/Chr)